TIGA HARI BERBAGI TANPA SEKAT DI NEGERI URTATAN
Kelyobar, Tanimbar, - Pagi
itu beberapa orang disibukkan dengan persiapan untuk melanjutkan perjalanan,
ketika matahari mulai menampilkan wajahnya, Minggu 25 Agustus 2024. Sebelumnya, mereka telah menempuh perjalanan sejauh 155 Km
dari Saumlaki, Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Tanimbar, ke Larat, ibu kota
Kecamatan Tanimbar Utara. Rombongan itu akan menuju Desa Keliobar yang berjarak
25 km dari ke arah timur Pulau Larat.
Di keheningan pagi itu,
pengeras suara memecah kebisuan di Negeri Urtatan. Tamu istimewa dari Larat
akan segera tiba di sana. Sontak kepanikan meramaikan suasana pagi itu.
Beberapa lelaki tua, perempuan-perempuan paruh baya, orang-orang muda dan
anak-anak, tampil beda dengan mengenakan kain tenun dan berbagai aksesoris adat
khas Tanimbar. Suasana pagi itu terasa lain dari hari-hari biasanya.
Foruk, lagu adat khas Tanimbar dinyanyikan oleh seorang lelaki paruh
baya untuk menyambut beberapa orang yang keluar dari empat buah mobil dan
berdiri di gapura masuk Desa Keliobar. Kain tenun khas Tanimbar dikalungkan,
membuat mereka yang tidak dikenal itu tampak seragam dengan para penyambut.
Kain tenun yang menghiasi leher dan pundak mereka mengurangi perbedaan yang
tampak sebelumnya.
Daun kelapa yang diarak
berbentuk perahu membingkai langkah kaki mereka memasuki Negeri Urtatan. Tarian
anak-anak muda, perempuan-perempuan paruh baya, dan anak-anak memeriahkan
suasana pagi itu, sembari rombongan menyusuri lorong-lorong negeri menuju pusat
desa hingga berakhir di gedung Gereja Pniel, Jemaat GPM Keliobar.
Teng… teng… teng… bunyi lonceng Gereja menandai dimulainya kebaktian
pembukaan kegiatanWorkshop dan
Aksi Advokasi AMGPM tentang Lingkungan Hidup (Jurnalisme Warga). Pendeta I. H. Hetharie, Wakil Ketua II Majelis Pekerja
Harian (MPH) Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), melayani Kebaktian Minggu
pagi itu.
Gedung Gereja yang ditata
sedemikian rupa dibanjiri dengan wajah-wajah baru. Mereka adalah kader-kader
Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM) yang berasal dari Klasis Tanimbar
Utara, Tanimbar Selatan, Pulau-pulau Babar Timur, Pulau-pulau Babar dan
Pulau-pulau Luang Sermata yang akan mengikuti kegiatan sejak tanggal 25-27
Agustus 2024.
Kegiatan ini difasilitasi
oleh Biro Pemuda Sinode GPM. Pdt. R. Resley, sebagai kepala Biro, sekaligus
Sekretaris Umum Pengurus Besar (PB) Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku
(AMGPM), juga hadir untuk memandu kegiatan.
Setelah akta ritual dan
seremonial pembukaan kegiatan berakhir, dua sosok asing yang tak dikenal
sebelumnya mulai memperkenalkan diri. Jimmy Ayal dan Embong Salampessy. Dua
orang jurnalis senior itu akan berbagi ilmu dan pengalaman mereka tentang
jurnalisme kepada para pemuda Gereja untuk mengadvokasi isu-isu lingkungan
selama 3 hari.
Awalnya peserta banyak
yang belum tahu bahwa Om Embong, sapaan akrab Embong Salampessy, adalah seorang
muslim yang berasal dari Negeri Pelauw di Pulau Haruku. Informasi itu terkuak,
setelah salah satu kelompok mempresentasikan tugas membuat berita langsung
dengan judul "Wow, Berbagi Lintas Iman di Keliobar." Sekalipun
begitu, interaksi yang hangat dalam suasana keakraban tetap terasa di tengah
padatnya materi dan jadwal kegiatan.
Ini bukan kali pertama Om
Embong terlibat dalam kegiatan gerejawi. Ia sudah lama terlibat bersama PB
AMGPM dan sejak saat itu ia selalu membuka diri untuk berbagi ilmu dan
pengalamannya, kapan dan dimana saja dengan GPM dan AMGPM. Dengan senang hati
ia datang di Keliobar meskipun harus menempuh perjalanan selama 3 hari dengan
menumpangi kapal laut dari Ambon ke Saumlaki.
"Pinggang sakit
karena terlalu lama tidur di kapal," cerita Om Embong. Tapi itu tidak
memudarkan semangatnya untuk berbagi dengan peserta selama kegiatan
berlangsung.
“Senang bisa berbagi ilmu dengan teman-teman, tanpa memandang agama,” ujar
Embong Salampessy ketika diwawancarai peserta kelompok 4 untuk tugas praktek
penulisan berita. "Kalau bisa kerjasama lintas iman itu lebih baik,"
tambahnya.
Gayanya yang santai khas wartawan
menciptakan suasana “sersan” (serius tapi santai). Materi-materi yang ia
sampaikan diboboti dengan pengalamannya sebagai wartawan sejak tahun 1992.
Sesekali ia juga menceritakan pengalamannya sebagai provokator perdamaian di
Maluku yang membuat dirinya dan peserta semakin menyatu dalam perbedaan.
Teknik penulisan berita,
foto jurnalistik, penulisan feature, dan
video jurnalistik menjembatani perbedaan agama Om Embong dengan seluruh peserta
yang beragama Kristen Protestan. Meskipun
berbeda, ia tanpa canggung membagi ilmu dan pengalamannya bersama Bung
Jimmy Ayal secara bergantian.
“Selama
tiga hari ini kami mendapatkan ilmu yang mahal,” kata Usi Elen
Ratuanik, salah satu peserta.
“Beta
bangga melalui materi yang beta dan bung Jimmy sampaikan, teman-teman dapat
menangkap dengan baik. Itu terlihat dari karya teman-teman sudah sesuai dengan
apa yang beta dan bung Jimmy harapkan," kesan Om Embong.
Ia
berharap, peserta dapat menerapkan ilmu yang sudah dibagikan selama kegiatan
untuk mengadvokasi isu lingkungan maupun isu sosial kemasyarakatan lainnya.
Dengan begitu jurnalisme warga akan menjadi salah satu sarana advokasi melalui
jurnalisme mainstream atau jurnalisme
yang berkembang.
Tiga
hari berbagi tanpa sekat. Tiga hari pula menenun kebersamaan dan merangkul yang
berbeda di Negeri Urtatan. (EB/Kelompok 4)