SEBUAH RELFEKSI KECIL TENTANG PENDETA JOHN TITALEY



SEBUAH RELFEKSI KECIL TENTANG PENDETA JOHN TITALEY

Walau saya bukan murid langsung dari Pdt Prof John Titaley, Th.D (selanjutnya, JT), tetapi saya sangat mengagumi dan terus belajar dari jauh dan diam-diam dari sosok yang cerdas, sederhana dan rendah hati ini. Saya mengenal nama dan gagasannya dari teman-teman yang pernah belajar langsung darinya, diantaranya duo sahabat Pdt Elifas Maspaitella (Ketua Sinode GPM) dan Pdt Max Takaria (pernah Ketum PB AMGPM). 

Tulisan ini tidak bermaksud mengulas gagasan dan pemikiran JT, apalagi mengembangkannya. Barangsiapa yang hendak menelusurinya, dapat membaca antara lain kumpulan tulisan reflektif dari para santrinya (muridnya) pada buku berjudul Nyantri Bersama John Titaley: Menakar Teks, Menilai Sejarah dan Membangun Kemanusiaan Bersama yang dieditori oleh Steve Gaspersz dan Tedi Kholiludin (UKSW Press, 2014). Baca pula resensi kritis atas buku ini yang ditulis oleh Albert Josua Maliogha yang dimuat pada Indonesian Journal of Theology Vol,2 No 1 Juli 2014. Mungkin sudah ada skripsi atau tesis yang secara khusus membahas gagasan dan pemikiran JT, saya belum mengetahuinya. Tapi saya yakin dan percaya, JT memiliki pemikiran yang menantang dan menarik. Pidato guru besarnya yang berjudul Menuju Teologi Agama-Agama yang Kontekstual tahun 2001 menarik untuk diperiksa kembali, selain buku-buku dan artikel-artikelnya juga jalan hidupnya. 

Saya mulai berjumpa langsung, itupun tidak secara dekat dengan JT saat bara konflik Maluku sedang menyala. Saat itu tahun 2000 saya belajar di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan terlibat dalam Forum Kepedulian Kerusuhan Maluku (FKKM) Yogyakarta yang diketuai Prof Agus Kastanya dan saya jadi Sekretarisnya. Saat itu perjumpaan para intelektual asal Maluku se-Jawa-Bali, intensitas perjumpaan terjadi di kota-kota besar pulau Jawa, termasuk Yogyakarta. Di wisma Kaliurang yang sejuk, di bawa kaki gunung Merapi, sosok berkarisma itu berbicara dengan penuh wibawa, sesekali terselip resah terhadap negara (state) dalam belum sanggup meredam konflik Maluku. Di situ, JT tidak hanya kampiun di bidang akademik, tapi ia terjun langsung ke medan laga, menjadi intelektual organik ala Anthony Gramsci. JT mengambil bagian dalam misi kemanusiaan memulihkan Maluku, tanah pusakanya yang dilanda prahara. 

Pemikir dan Pejuang Pancasila dan UUD 1945

Menurut saya JT sangat mencintai bangsanya, Indonesia. Ia ingin melihat bangsa yang berbhineka ini hidup rukun dan damai. Meski hingga kini bangsa ini masih terus bergumul dengan identitas primordial dan identitas nasionalnya (istilah yang khas JT), tetapi ia terus memikirkan arah bangsa ini. Ia tidak hanya berpikir tentang sukunya, tentang gerejanya, tentang agamanya, bahkan tentang bangsanya. Ia meretas semua itu. Lahir di tanah Papua, berasal dari Maluku, istrinya seorang Jawa tulen, ia lama studi di Amerika, begitu pun anak-anaknya di Amerika, tetapi rasa nasionalismenya tak tergoyahkan. Semua itu dibangunnya di atas dasar Pancasila dan UUD 1994. Marko Mahin, seorang pendeta yang antropolog dari Dayak Kalimantan (Gereja Kalimantan Evangelis, GKE) menulis di laman fesbuk “Seorang Durkheimian yang melihat Pancasila (secara khusus sila ketuhanan) sebagai "totem" pemersatu bangsa. Sampai hafal saya tentang "red part" and "white part. 

Sependek pengetahuan saya JT menulis disertasi tentang Pancasila. Lema yang sama dengan alm. Pdt Eka Darmaputera dalam disertasinya dan sejumlah scholar Kristen Indonesia, termasuk Benjamin Intan, seorang pendeta yang berasal dari Maluku juga. Pancasila menjadi salah satu jika tidak hendak dikatakan satu-satunya alas bersama sebagai bangsa yang paling lolos dari ujian sejarah dan peradaban. Kelak, muridnya yakni Tedi Kholiludin menulis disertasinya dengan lema yang sama berjudul: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesia (2014). Tedi-lah murid yang paling bernas mengartikulasi sosok dan gagasan JT di ruang publik, melalui tulisan-tulisan ringkas, enak dibaca dan perlu. Tentu sosok, Prof Sumanto Alqurtuby yang kini mengajar di King Fahd Arab Saudi, tak dapat dipisahkan dalam relasi yang akrab santri dengan Sang Kiai dari Tanah Maluku ini. 

Saya rasa kecintaan pada bangsanya itu yang mengantarnya pulang ke Tanah Maluku untuk menginisiasi dan membangun Program Doktoral Agama dan Kebangsaan UKIM Ambon. Bersama Prof John Ruhulessin (JR), murid yang dikasihi dan mengasihinya, tahun 2024 mereka telah meluluskan dua doktor Agama dan Kebangsaan, yakni Dr Yusuf Laisouw dan Dr George Likumahwa. Prof JR merupakan mahasiswa pertama Program MSA (Magister Sosiologi Agama, awalnya Agama dan Masyarakat) juga mahasiswa dan lulusan pertama program Doktor Sosiologi Agama (DSA). Bahkan JR adalah Profesor pertama yang adalah murid JT. JT pernah berkata: Kebanggaan seorang guru adalah ketika murid-muridnya hebat bahkan lebih hebat dari gurunya. 

Sosok yang Pluralis, Multidisipliner dan Oikumenis

Dalam buku Emeritasi Pdt Prof JT yang disiapkan Majelis Sinode GPIB diterakan bahwa JT lahir di Sorong Tanah Papua, 19 Juni 1950 dan menikah dengan Ida Imam, S,Si pada tanggal 24 Januari 1981. Dari pernikahan itu Tuhan menganugrahkan dua orang akan yang kini mukim di Amerika Serikat dan menikah dengan orang Amerika. Keduanya adalah Vina Titaley, Ed.D yang menikah dengan Curt Jonathan Davies, Ph.D dan Ivan Anselmus Titaley, Ph.D yang beristrikan Emma Brant, MS. Pada tahun 1986 JT ditahbiskan sebagai Pendeta di Gereja Protestan di Indonesia Barat (GPIB) dan menjadi Tenaga Utara Gereja (TUG) di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. JT menjalani studi  Sarjana Muda dan Sarjana Teologi  pada Fakultas Teologi UKSW kemudian menyelesaikan Doktor Teologi (D.Th) pada Graduate Theological Union (GTU), Berkeley USA dan San Fransisco Theological Seminary USA dalam bidang Inter-Area Studies. Setelah kembali ke tanah air dan mengajar di UKSW JT juga mendapat kepercayaan sebagai pimpinan Fakultas Teologi, Pascasarjana dan Rektor UKSW. Selain itu ia juga mengajar pada UKDW Yogyakarta, UGM Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UKIM Ambon dan Visiting Scholar pada Graduate Theological Union, Berkeley, USA tahun 2006. 

JT juga membaktikan hidup dan karyanya pada lembaga-lembaga oikumene diantaranya Persekutuan Sekolah-sekolah Teologi di Indonesia (Persetia) dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Ia pernah menjadi Ketua Persetia dua periode, 1994-1998 dan 1998-2002. Di PGI ia pernah menjadi Anggota Majelis Pertimbangan PGI periode 2019-2024 dan Wakil Ketua Majelis Pertimbangan PGI periode 2017-2019. Di kancah internasional JT merupakan Advisor tahun 2004-2013 pada Institute for Advanced Studies in Asian Cultures and Theologies (AISACT) United Board for Christian Higher Education in Asia (UBCHEA) yang berkedudukan di Hongkong. Tidak itu saja, tahun 2009-2013 JT menjadi Executive Committee, Member pada Association for Theological Education in South East Asia (ATESEA) Manila Pilipina. 

Semua rekam jejak biografis, akademik dan kiprah sosial-gerejawinya menegaskan bahwa JT sudah selesai dengan dirinya sendiri. Ia tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri. Ia telah memberi hidup dan karyanya kepada Tuhan melalui cintanya kepada sesama manusia seperti diri sendiri. 

Pulang Kampung dan Cinta pada Tanah Maluku

Jemaat GPM Ouw Klasis Pulau Pulau Lease, membawa 30 buah sempe (wadah menuangkan papeda, masakan dari sagu)  yang akan dipajang di gedung gereja Maranata pada ibadah emeritasi Pdt JT. Saya belum mendapat penjelasan tentang tindakan simbolik ini. Tapi saya menduga hal itu tak dapat dilepaskan dari asal usul Pdt JT yakni Negeri Ouw di pulau Saparua. Kalaupun saya mencoba menafsir secara subjektif tentang proses pembentukan sempe (bejana) dari tanah liat itu  ditautkan sebagai cara Allah membentuk sosok JT seturut rencanaNya seperti terlukis dalam Kitab Yeremia pasal 18. JT melalui jalan-jalan ziarah dan proses formatif yang luar biasa ketika Tuhan membentuknya menjadi Bejana yang indah. 

Darah lebih kental dari air, mungkin itu analogi yang masih relevan bagi sosok JT. Setelah puluhan tahun mukim di tanah Jawa, lelaki berdarah Negeri Ouw di pulau Saparua Lease Maluku Tengah ini “pulang kampung”. Jejak-jejak itu yang dapat disusuri diantaranya pada tahun 2008-2010 ketika ia menerima tanggungjawab sebagai Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Maluku (YAPERTI) yang menaungi UKIM. Sejak tahun 2018-hingga masa emeritasi guru besarnya JT tercatat sebagai dosen pada Program Doktoral Agama dan Kebangsaan UKIM. Bahkan sebagai Pendeta, ia menjalani prosesi emeritasinya di GPM (Gereja Orang Basudara bersama GPIB) di  gereja Maranata Klasis GPM Kota Ambon, pada Minggu, 30 Juni 2024 pukul 09.00 Wit. Ibadah ini akan dilayani oleh Pdt Drs Paulus Kariso Rumambi, M.Si, mantan muridnya yang kini menjadi Ketua Sinode GPIB dan dihadiri pula oleh mantan muridnya yang lain, Pdt Elifas Tomix Maspaitella, M.Si, Ketua Sinode GPM. “Murid-murid yang hebat dari seorang guru yang hebat pula”. Tentu patut disebutkan dalam narasi ini pula, nama kakaknya alm, Pdt Sammy Paulus Titaley, S,Th yang pernah menjadi Ketua Badan Pekerja Harian Sinode GPM periode 1995-2000. 

Apakah Manusia Itu ?

JT memilih bacaan Mazmur 144:1-4 sebagai teks khotbah emeritasinya. Saya kutipkan keempat ayat itu berdasarkan terjemahan LAI TB2: (1) Terpujilah TUHAN, gunung batuku, yang mengajar tanganku untuk bertempur, dan jari-jariku untuk berperang. (2) Dialah sekutu yang setia dan kubu pertahananku, kota benteng dan penyelamatku, perisaiku dan tempatku berlindung, yang menundukan bangsa-bangsa ke bawah kuasaku ! (3) Ya, TUHAN apakah manusia itu, sehingga Engkau memperhatikannya, dan anak manusia, sehingga Engkau memperhitungkannya? (4) Manusia sama seperti angin yang berembus, hari-harinya bagai bayang-bayang yang lewat.

Teks ini sangat indah dan menggugah. Sang penyair telah melukiskan kisah hidupnya pada larik-larik yang penuh makna. Meringkas kisah hidupnya yang penuh onak dan duri, tantangan datang silih berganti, bagai ombak panggil ombak. Tapi tangan Tuhan yang perkasa telah menyelamatkannya. Tuhan kota benteng dan perisai. Tuhan bagai sempe dan papeda. Tempat sagu manta dituang ke dalam sempe lalu diaduk-aduk dengan air panas mendidih, menjadi papeda yang siap di santap dengan ikan kuah kuning kenari. Keringat mengucur deras. 

“Aku berhenti di sini, kamu jalan terus…Aku akan tetap di sini, kamu melesatlah jauh…Aku akan selalu ada di sini, kamu terbanglah tinggi…” (AKU BERHENTI DI SINI, cuplikan liturgi emeritasi JT). Lalu pada liturgi yang sama Sang Peziarah dari Timur itu akan bernyanyi: “Sejenak aku menoleh pada jalan yang tlah kutempuh, Kasih Tuhan kuperoleh membuatku tertegun, Jalan itu penuh liku, kadang-kadang tanpa t’rang. Tapi Tuhan membimbingku hingga aku tercengang, kasih Tuhan membimbingku dan hatikupun tenang”. 

Proficiat Pendeta John Titaley. Soli Deo Gloria. Tete Manis sayang selalu bersama keluarga terkasih ! (RR)