Tanggapan Atas Pendampingan Para Pimpinan Agama di Maluku
Mencermati konflik yang sedang terjadi, bertempat di gedung Aula Sinode GPM telah dilaksanakan konferensi pers oleh para pimpinan umat beragama di Maluku dalam rangka untuk menyampaikan pesan damai kepada seluruh masyarakat di Maluku.
Membuka konferensi pers, Pendeta E T Maspaitella menegaskan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan seluruh permasalahan hukum, keamanan, rehabilitasi atau penanganan para pengungsi itu merupakan domain pemerintah dan para aparat terkait. Sementara pimpinan agama berkewajiban untuk menyampaikan pesan damai kepada seluruh masyarakat.
Kemudian, Pesan damai dibacakan langsung oleh DR. Abdullah Latuapo – Ketua Majelis Ulama Indonesia di Maluku.
Berikut tanggapan para pimpinan agama terkait dengan aksi nyata dalam bentuk pendampingan secara langsung kepada masyarakat.
Abdullah Layuapo menjawab, “Sinode dan lainnya memiliki cabang di kabupaten, kecamatan dan desa-desa. Sehingga jika dikatakan kalau kita hanya melakukan pendampingan di level atas saja maka itu harus diperbaharui. Kami pada waktu-waktu tertentu langsung turun ke desa-desa untuk melakukan pendampingan” tuturnya.
Sementara itu, W. Jauwerissa – Ketua Walubi Maluku mengatakan bahwa komunikasi tetap dibangun dalam rangka untuk memantau dan memperoleh informasi secara akurat serta dapat memberikan saran yang tepat.
“Kami para pimpinan agama di Maluku, saat ini memperlihatkan kebersamaan ini supaya masyarakat dapat bercermin,” ucap Pastor Igo Refo – Keuskupan Amboina Vicaris Jendral.
Dr. I Wayan Sutapa – Ketua Parisada Hindu Dharma Maluku menjawab bahwa tokoh agama memiliki atensi yang besar, etiket yang baik untuk bagaimana umat itu bisa hidup rukun antar satu dengan lainnya. Menyikapi konflik yang terjadi saat ini, kami dari tokoh agama mengambil tindakan melalui ranah agama. Kami juga memiliki organisasi-organisasi. Setiap kebijakan di tingkat pusat selalu dikoordinasikan sampai ke tingkat bawah.
Sebagai penutup, Pendeta Maspaitella menjelaskan bahwa ada agenda internal di masing-masing agama. “Selaku pimpinan kita menghadapi situasi apapun selalu bersama, berusaha berkoordinasi satu dengan yang lain untuk kepentingan bersama. Kita berusaha agar setiap kasus yang terjadi tidak menyeret agama ke pusaran konflik. Kami hadir untuk membantu fasilitas suasana yang kondusif. Budaya komunikasi, sebagai budaya agama itulah yang harus dilakukan. Hubungan komunikasi antar lintas agama harus tetap di bingkai. Di level pusat kita harus menunjukan itu sebagai pimpinan dengan hadir langsung di tengah-tengah masyarakat untuk mendampingi dan juga membangun koordinasi,” tuturnya.