Selamat Jalan Hamba Terkasih, Pendeta Iwan Syahailatua




Hari ini, Rabu, 5 Maret 2025 ia dimakamkan di Tanah Kei, Evav. Ketua Sinode GPM Pdt E.T Maspaitella terbang langsung dari Ambon untuk memberi penghormatan sekaligus melepaskan kepergian Pendeta Gereja Protestan Maluku yang murah senyum dan rendah hati ini.

Dilahirkan di Tual. 20 September 1963, Pendeta Frans Joseph Syahailatua, S.Th yang akrab disapa “Pendeta Iwan”, mengakhiri panggilan imannya di tanah Kei, Tual 3 Maret 2025, dalam usia 61 tahun 5 bulan 11 hari. Suami dari Pdt Ny Froneline Syahailatua/Talakua, S.Th dan ayah dari Keiwan Syahailatua dan Maryo Syahalaitua ini mengabdikan sebagian besar hidup dan karya pelayanannya di tanah Kei, Evav.

Pendeta Iwan adalah lulusan STT Jakarta tahun 1987. Ini sebuah data dan fakta yang unik. Ia belajar pada lembaga pendidikan tinggi teologi yang bereputasi. Itu berarti ia juga seorang petarung di ibukota Jakarta di akhir tahun 80-an. Tetapi Jakarta tidak bisa menahan langkahnya untuk pulang ke tanah leluhurnya Maluku untuk menjadi Pendeta GPM. Ia mencintai tanah kelahirannya, ia mencintai gereja yang membesarkannya, Gereja Protestan Maluku. Dan sejak ditahbiskan tahun 1988, sepanjang 34 tahun hidupnya ia persembahan kepada Tuhan melalui Gereja Protestan Maluku. 

Pendeta Iwan adalah sebuah wujud hybriditas dalam biologi dan sosio-budaya. Dari marga Syahailatua nyata bahwa secara biologi ayahnya berasal dari Negeri Ouw di pulau Saparua Maluku Tengah. Ibunya fam Rahakbauw asal Ohoi  Waurtahait Kei Besar, Evav. Dari sisi sosio-budaya ia menghabiskan tahun-tahun hidup dan karyanya di tanah Kei, Evav. Mulai dari Ketua Majelis Jemaat GPM Elat Kei Besar, tahun 1993-2001, 8 tahun. Selanjutnya ia “lompat jabatan” dipromosikan sebagai Ketua Klasis GPM Kei Besar 2001-2014, 13 tahun. Setelah itu pada tahun 2021-2025, 4 tahun dipercayakan sebagai Ketua Klasis GPM Kei Kecil. Ia pensiun tahun 2021.Total pelayanannya di tanah Kei 22 tahun dari 34 tahun 1 bulan masa pengutusannya sebagai Pendeta GPM.

Sebelumnya Pendeta Iwan menjalani masa vikariat tahun 1987 di Jemaat GPM Wahai, Seram Utara. Pengutusan perdananya sebagai Penghentar Jemaat di Jemaat GPM Labuan Klasis Seram Utara tahun 1989-1993, 4 tahun. Setelah itu seluruh waktu pelayanannya dihabiskan di tanah leluhur Ibunya, kepulauan Kei (Besar dan Kecil). 

Pada sosok Pendeta Iwan kita melihat konsistensi dan persistensi pelayanan. Seorang Pendeta yang pernah melayani di Kei Besar mengatakan “Bu Iwan orangnya sangat baik. Kita tidak pernah tahu kapan beliau marah. Sebab ia selalu tersenyum walau sedang marah” ungkap sang pendeta. Ia juga memberi kesaksian bahwa Pendeta Iwan selalu menjadikan diri sebagai “sahabat” bagi pendeta-pendeta yang melayani di Kei Besar. Ia merangkul dan memberi arah. Ia juga mengingatkan para Pendeta yang melayani di Kei untuk tetap menghargai Budaya Kei seperti juga budaya daerah lainnya. Persis seperti pepatah tua: dimana bumi di bijak di situ langit dijunjung. Di sini falsafah hidup ain ni ain, wuut ainmehe ngifun, manut ainmehe ni tilur, turut memberi peneguhan untuk terus membangun persaudaraan dan persahabatan yang saling menghidupkan. 

Pada sosok Pendeta Iwan juga kita menemukan “pertemuan” dua sub budaya yang unik. Saparua-Kei. Laar in baba wir in soso, aliran darah yang mengalir pada dirinya meneguhkan dirinya sebagai “titik temu” keragaman sub suku di Maluku. Pada dirinya terbuka horizon dan cara berpikir terbuka dan inklusif, tanpa mengabaikan identitas primordial yang unik. Maka jangan heran jika ia disegani dan dihormati ketika bertugas di tanah Evav, tentu juga karena kualitas-kualitas hidup dan karyanya, selain tentu keterbatasan insaniahnya. 

Kita turut merasa kehilangan sosok Pendeta GPM yang hebat, setelah sebelumnya kita kehilangan mantan ketua Klasis Kei Besar 1982-1988, Pendeta Marthen Lodewyk Peilouw, Sm.Th. Selamat jalan hamba-hamba Tuhan terkasih, kami teruskan karya layanmu dalam spirit “Aku Menanam Apolos Menyiram tetapi Allah yang memberi pertumbuhan (I Korintus 3:6). Duad berkat  (RR)