SEJARAH SINGKAT TUG GPM DI GPIBT




KEMITRAAN GEREJA/JEMAAT SEBAGAI MODEL

Tahun 1980-an patut disebut sebagai tahun GPM melakukan beberapa transformasi kebijakan dan manajemen pelayanan gereja. Sebut saja masa periodisasi kemajelisan gereja lima tahunan, yang dimulai 1980-1985 hingga saat ini, penataan kelembagaan dengan struktur yang seragam dari Sinode, Klasis dan Jemaat. Pada tahun 1982, ada keputusan gereja untuk membangun kemitraan jemaat sebagai cara mendorong pertumbuhan bersama semua jemaat. Fokus pertama pada kurun waktu awal itu ialah semua jemaat di Klasis Kota Ambon dan beberapa jemaat di Pulau Ambon, bermitra dengan semua Jemaat di Pulau Seram, Buru, Bacan, Obi, Sula. 


Konsep itu rupanya mendorong Sinode GPM, di masa kepemimpinan Pdt. Dr. A.N. Radjawane, menyusun dokumen perncanaan pelayanan yang disebut Pola Induk Pelayanan dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan (PIP-RIPP) Dasawarsa I, tahun 1983-1995. Ada dua pikiran dasar dari PIP-RIPP tersebut yaitu untuk merangsang pertumbuhan bersama semua jemaat, dan menjadikan masalah pelayanan satu jemaat/Klasis sebagai masalah bersama gereja, sehingga prinsip berjalan bersama (sun-hodos) dapat diimplementasi pada level program kebijakan. Dalam kurun waktu 1980-an, bersamaan dengan konsep perencanaan seperti harapan di atas, GPM melihat pentingnya kemandirian gereja. Sebab itu pada 20 Mei 1985, GPM memandirikan semua Jemaat di Klasis Sorong, Fak Fak, Kaimana dan Merauke, sebagai satu gereja mandiri yaitu Gereja Protestan Indonesia Papua (GPIP).

TENAGA UTUSAN GEREJA (TUG) 
Pdt. Manuel Gaelegoy, Sm.Th, merupakan Pendeta GPM pertama yang menjalani tugas sebagai TUG di Sinode GPIBT. Pria kelahiran Marfenfen, Kepulauan Aru, 3 Agustus 1952, ini menyelesaikan pendidikan Sarjana Muda Teologi di Ambon pada 1980, dan menjalani tugas kevikariatan di Jemaat GPM Karlutu Warasiwa. Ditahbiskan pada tahun 1981, dan dipersiapkan khusus untuk menjadi TUG di GPIBT. "Teman-teman seangkatan saya yang ditahbiskan waktu itu yang saya ingat itu Dicky Mailoa, Luther Raprap dan Uthe Mayaut. Kami sedikit saja. Jadi bapak Radjawane panggil dan tidak bertanya lagi, tapi langsung suruh "Manuel, kamu siap ke Buol Tolitoli di Pulau Sulawesi", tutur Pdt. (Em.) Manuel di rumahnya di Tolitoli (9/6). "Beta masih muda waktu itu. Semangat masih tinggi. Tapi karena menunggu lama, lalu ada keluarga menawarkan saya pergi ke Jayapura. Beta ikut saja ke sana. Eh tau-taunya, saya bertemu jodoh di sana dan menikah. Begitu selesai menikah, datang telegram dari Sinode untuk kembali ke Ambon dan mau berangkat ke Tolitoli". Ia datang bersama istrinya, Rosina Dorce Tanasale, gadis Nusahulawano, Leinitu. "Sampai di Sinode, bapak Ketua Sinode marah. Sebab GPIBT minta waktu itu pendeta yang masih bujang. Beta bilang, abis tunggu lama jadi Beta sudah dapat jodoh ini, bapa", kisahnya sambil tersenyum.  "Tetapi karena beta siap saja, maka tetap berangkat bersama istri. Tiba di sini (Tolitoli) dan langsung ditempatkan di GPIBT Bokat, di Buol. Untung saja waktu itu sudah menikah, kalau tidak, beta su bale Ambon", kisahnya sambil tertawa lepas. "Beta sengaja saja. Masa itu Beta berpikir, kita ini harus memenuhi perintah Kristus untuk pergi ke seluruh ujung dunia, dan di mana saja kita melayani, kita harus menjadi berkat bagi orang banyak", paparnya bangga sambil berlinang air mata mengenang susahnya kondisi pelayanan waktu itu. Sambil menatap Pendeta Brian Tetelepta, TUG GPM yang baru, Pendeta Manuel berkata: "ingat, harus jadi berkat untuk orang banyak. Jadi melayani saja di sini, jang pikir Ambon lai".

ALIH ORGANIK KE GPIBT
Dalam masa TUG, ia mengalami tiga kali perpanjangan masa pelayanan sejak masuk 1981. Karena kepentingan sumber daya pelayan di Sinode, ia ditawari menjadi Pendeta Organik GPIBT supaya bisa memperoleh hak yang sama dengan para Pendeta GPIBT dalam struktur organisasi gereja. Pendeta Manuel lalu menyampaikan permohonan ke Sinode GPM dan dialihkan oleh Sinode GPM ke GPIBT sebagai pegawai organik, tahun 1989. Sejak saat itulah, ia menjalani masa pelayanan hingga tiga kali menduduki posisi Badan Pekerja Majelis Sinode GPIBT. Pendeta Manuel dan Nyora Rosina Dorce dikaruniai tiga orang anak, dan ketiganya sudah menikah serta aktif dalam pelayanan gereja di GPIBT Bethesda Tolitoli. Kini ia hidup bersama istrinya setelah menjadi emeritus pada tahun 2014 yang lalu. Manuel Gaelagoy, lelaki Jargaria ini, telah menjadi saksi hidup sejarah TUG GPM di GPIBT. "Beta sudah di sini untuk menanam dan menyiram dan beta sudah menikmati buahnya", paparnya sambil menyampaikan terimakasih kepada GPM yang telah mengutusnya dan masih mengutus TUG yang baru.