Sadar Teknologi, Sadar Beraksi: Bercakap Artificial Intelligence (AI) dalam Sidang Raya ke-18 PGI
(12/11/24) Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia dalam peziarahannya sadar dengan kemajuan teknologi yang tidak terbendung, karenanya dalam Sidang Raya ke-18 PGI, peserta sidang difasilitasi dengan beragam kelompok diskusi, salah satunya kelompok Artificial Intelligence (AI). Kehadiran AI dalam semua lini kehidupan termasuk Gereja perlu disikapi dengan positif namun tetap kritis. AI seperti dipandang sebagai sebuah platform yang mampu menjawab semua keresahan dan pertanyaan manusia, sehingga lupa bahwa AI hanyalah kecerdasan buatan manusia.
Dalam pemaparannya, Ketua Tim Parawisata dan Pendidikan Direktorat Ekonomi Digital Kementrian Komunikasi dan Informatika, Luwat Sihombing, mengedukasi peserta bahwa AI perlu divalidasi dengan pengetahuan dan pengalaman, sehingga manusia tidak serta merta melihat AI sebagai sebuah kebenaran mutlak. Nalar dan daya kritis setiap pengguna teknologi harus lebih tajam sebab ada banyak aspek yang dapat dipengaruhi jika tidak mampu menyaring semua kecanggihan yang ditawarkan. AI yang muncul pada ruang maya membuat manusia seperti terserap dalam penggunaan sosial media yang tidak terkontrol. Karenanya, Sihombing menegaskan bahwa keaktifan manusia dalam media sosial dapat dengan mudah memberi peluang untuk data pribadi dan perilaku hidup diidentifikasi sehingga dapat dibuat menjadi AI. Lebih lanjut, Sihombing menegaskan bahwa moralitas harus diutamakan dalam berteknologi sehingga tidak tergiur dengan kepalsuan AI.
Ruang yang terbuka pada teknologi telah diupayakan oleh Gereja. Sudah banyak Gereja-gereja yang melek dengan dunia, yang terus bertransformasi sehingga muncul kemauan untuk mengenal, menggunakan dan mengoperasikan teknologi. Pada hakikatnya, teknologi hanya mesin yang dirangkai dan dirumuskan oleh manusia, artinya kemungkinan untuk gagal sangat besar. Dalam Gereja teknologi tidak mampu berteologi, namun dapat menolong manusia untuk memaksimalkan hidup yang berteologi. Oleh karena manusia harus memiliki nalar kritis terhadap teknologi dalam ruang teologi, maka dalam kesempatannya, Ketua STFT Jakarta, Pdt. Prof. Binsar Pakpahan mengemukakan bahwa berteologi tidak boleh sekadar input data seperti algoritma, berteologi tidak boleh menyandarkan keputusan pada AI, dan berteologi harus memikirkan hakikat manusia melampaui semesta. Pakpahan dengan lugas mengajak semua peserta sidang yang hadir untuk sadar dengan krisis digital saat ini bahwa Indonesia belum memiliki regulasi yang pasti tentang AI, masih banyak gereja yang sulit akses, banyak warga gereja yang gamang dan tidak tahu cara menggunakan teknologi dengan tepat.
Kesadaran Gereja terhadap AI harus dimaknai oleh para pelayan dan umat sebagai sebuah alat bantu yang tidak menguasai pengguna tapi mampu dikendalikan oleh pengguna. Gereja harus bekerja keras untuk terus mengarahkan umat bijak dalam menggunakan teknologi. Hikmat Allah tentu saja menjadi kebutuhan primer, sehingga Gereja tidak termakan dengan kepalsuan teknologi yang cukup digunakan seperlunya. Salah satu tugas Gereja yang tidak bisa dihindari adalah menolong umat untuk sadar bahwa moral dan etika harus diperkuat. Umat harus memaknai bahwa percaya sepenuhnya pada kepalsuan/peniruan (AI) adalah hal yang salah. Boomerang teknologi sedang menghantam, ironisnya manusia merespon dengan keterbukaan pada semua kemudahan tanpa menganalisa bahwa sesungguhnya semua aspek hidup perlahan dikuasai oleh teknologi. Kecerdasan buatan perlahan mengikis eksistensi manusia yang adalah Imago Dei (segambar dan serupa dengan Allah) dengan segala kemampuannya yang murni berasal dari Allah. Daya kritis manusia menjadi tumpul karena merasa bahwa AI mampu menjawab semuanya, padahal perlu diingat lagi bahwa AI hanyalah kecerdasan buatan manusia yang sudah pasti tidak dapat melampaui hikmat Allah.
Sihombing dan Pakpahan bersama mengingatkan Gereja-gereja di bawah naungan PGI untuk sadar teknologi dibarengi sadar beraksi sehingga Gereja secara institusi tapi juga pribadi tidak menjadi alat untuk membuat AI menjadi semakin hidup.