Peluncuran Buku “Teologi Orang Basudara”, Karya Pendeta Theo Matatula



Peluncuran Buku “Teologi Orang Basudara”, Karya Pendeta Theo Matatula

Pendeta Theovania Matatula, S.Si.Teol.,M.Si meluncurkan sebuah buku dengan judul “Teologi Orang Basudara”.

Melalui buku tersebut Pendeta Matatula ingin memberikan paham tentang teologi sebagai dasar gereja orang basudara dalam lingkup GPM. Penulisan buku ini bermula dari munculnya dua kegelisahan Pendeta Matatula. Pertama dari tema bergereja GPM yaitu gereja orang basudara. Menurutnya, Ketika GPM berbicara tentang gereja orang basudara, teologi yang menjadi dasar dari gereja orang basudara itu belum ada hanya masih menjadi ilmu yang bersifat pluralist belum terstruktur secara sistematis. karena itu Pendeta Matatula mengspesifikasikan sebuah teologi lokal gereja orang basudara sehingga ketika GPM berbicara bentuk praktis teologisnya itu ada. Berbicara tentang teologi orang basudara ada 3 hal penting yang dicakapkan dalam buku ini: teologi orang basudara itu berdiri atas pijakan imagodei sebagai dasar teologi, memiliki pola relasi seimbang, mempunyai nilai-nilai sakral yang bersifat imperative.

Kemudian, Wakil Sekretaris Umum MPH Sinode GPM – Pendeta Rudi Rahabeat, mengapresiasi karya yang dibuat oleh Pendeta Matatula. Mengawali arahannya dengan menyampaikan kegiatan lintas agama remaja yang diselenggarakan oleh Klasis GPM Pulau Ambon yang melibatkan remaja GPM dan remaja dari Muslim (Pohon Mangga). Baginya ini kegiatan yang memberi harapan bagi kehidupan antar umat beragama yang rukun dan damai. Jadi kegiatan seperti ini harus diperbanyak serta ruang-ruang untuk melakukan study yang mendalam.

Setelah dibaca, baginya seluruh bab di buku ini memiliki paham-paham dasar yang multidisiplin. Yang menggunakan pendekatan asal usul sejarah kemudian filsafat dimensi-dimensi sosial.

Selanjutnya, Akademisi IAIN Ambon – Dr. Abidin Wakano, M.Ag, mengatakan bertolak dari teologi orang basudara masyarakat kita adalah masyarakat yang multikultur yang punya pengalaman berkonflik serta memiliki modal sosial kultural,. Baginya ini adalah sesuatu yang menarik.

“Bu theo sudah merumuskan bahwa orang basudara itu membarui sekat-sekat, gender, suku agama. Jadi spirit orang basudara yang biasa disebut dengan potong di kuku rasa di daging, ale rasa beta rasa, sagu salempeng dibagi dua,” tuturnya.

Ia menambahkan bahwa orang basudara itu harus terus tumbuh, belajar saling membangun, memahami, mempercayai, menghargai, mencintai, membanggakan dan saling menopang. Wakano berharap, semoga ini dapat ditindaklanjuti dengan penulisan-penulisan yang lebih mendalam serta berbasis riset-riset yang kuat.



Berikan Komentar

Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin