Nota Untuk Dony
Sebuah pesan masuk lewat tengah malam waktu Jakarta. Saya membacanya dengan hati tak menentu. Isinya tentang pamitan dari seorang karib yang selama ini selalu menempatkan “universalisme” di atas geliat hidup yang sumir. Universalisme menempatkan manusia dalam hakikat yang egaliter, dimana dan kapan saja, tidak boleh berhenti. Ia tak boleh digantikan oleh ”komunitarianisme” yang melecut terus-menerus politik identitas. Yang memandang segalanya dari kacamata perbedaan.
Di titik ini, kami satu sekoci. Sepaham tak hanya dalam ide tapi juga laku.
Kesamaan itulah yang membuat saya merasa speechless. Nicholas Sparks, novelis kenamaan Amerika yang beberapa karyanya telah difilmkan semisal “Message in a Bottle” atau “A Walk to Remember” menyebut - alasan mengapa berpisah sangat menyakitkan adalah karena jiwa kita saling terhubung.
Yang terhubung itu bermula saat kami bertukar pesan tentang “ancaman” HIV di pulau Batang Dua pertengahan tahun 2017. Seorang warga di sana meninggal gegara virus ini. Ada kebutuhan untuk melindungi warga yang lain. Kami makin intens berkomunikasi meski semuanya serba terbatas lewat SMS.
Namanya Donny. Bermarga Toisuta, putera asli Siri Sori – sebuah kampung yang indah di pulau Saparua yang pernah saya datangi beberapa tahun lalu. Lelaki kelahiran Ambon, 7 Desember 1982 ini menghabiskan seluruh masa sekolahnya di kota musik. Ia kemudian melanjutkan kuliah di Universitas Kristen Indonesia Maluku. Sosoknya terbilang pendiam. Meski begitu, Ia adalah aktifis yang punya hasrat besar untuk belajar banyak hal.
Di rumahnya di bilangan Kudamati, Donny menginisiasi sebuah komunitas anak muda yang kreatif. Namanya “Daun Mangkok” – meminjam nama tumbuhan yang menjalar memenuhi pagar rumahnya di Gang Sinar.
Pergaulannya melintasi banyak generasi. Anak bungsu dari pasangan Om Johanes Anthony Toisuta dan Tante Selfi Elsina Tuapattinaya ini terbiasa hidup seadanya. Usai kuliah misalnya, Ia dan beberapa kawan tak malu menjaga parkiran di RSU Kudamati. Donny jadi mentor yang menggerakan anak muda di situ untuk berbuat baik. Tutur katanya terjaga. Ia adalah solusi untuk kebuntuan yang tak berujung.
Jiwa mengayomi dan memimpin bersumber dari kekuatan Mamanya yang menghabiskan hidup dengan menjadi seorang guru. Papanya yang membawa mobil tangki minyak mewariskan ketegasan dan kesederhanaan.
Tentang sederhana itulah yang saya temukan ketika kami pertama kali bertemu di penghujung bulan November yang kering tujuh tahun lalu. Setelah berbulan-bulan berbagi edukasi tentang HIV, saya menerima undangan dari Gereja Protestan Maluku di Mayau. Ini kampung terbesar di gugusan pulau Batang Dua – nama ini diberikan oleh pelaut-pelaut Loloda yang berburu penyu dan mengira dua pulau itu adalah punggung penyu yang hanyut terbawa ombak laut Halmahera.
Setelah empat jam berlayar dengan speedboat dari Ternate, menerjang gulungan ombak yang lumayan besar, saya akhirnya menginjakkan kaki di pantai Mayau. Tak ada jembatan di sana. Banyak orang berdiri menyambut di atas pasir. Kebanyakan adalah anak muda yang tergabung dalam Angkatan Muda GPM. Saya membayangkan akan menemui pimpinan gereja yang berpakaian lengkap dengan sepatu yang disemir mengkilat. Namun bayangan itu menguap saat saya diperkenalkan dengan sosok bercelana pendek dengan sandal “geta”. Kami bersalaman dan sambil tersenyum Ia menyebut namanya “Donny”.
Saya lalu dibawa ke Gereja untuk memulai acara sosialisasi dan pelatihan tentang HIV dan AIDS. Banyak warga berkumpul. Suasananya meriah. Orang-orang Mayau sangat ramah. Keramahan yang saya temui saban hari selama berada di pulau yang listriknya hanya bercahaya saat malam hari. Yang tak punya jaringan telepon internet. Pulau yang terpisah sendirian di antara Ternate dan Sulawesi, yang dikelilingi lautan bebas menuju samudera pasifik di bagian utara.
Saya cepat akrab dengan keluarga pendeta yang baru beberapa bulan pindah dari tanah Kei ini. Donny mendampingi isterinya – pendeta Gloria Grace Malaihollo yang bertugas sebagai pimpinan jemaat GPM. Puteri mereka Shellgrain Mahnify Toisuta - kami memanggilnya Ain - masih kecil dan kerap “diambil” anggota jemaat. Suami Isteri pendeta ini sangat dekat dengan warga. Pastori - rumah pendeta berdinding tembok di belakang Gereja Efata yang punya satu kamar untuk tetamu - nyaris terbuka saban waktu. Di terasnya yang memanjang, kami banyak menghabiskan waktu dengan berdiskusi dan saling bertukar pengalaman.
Donny adalah sosok pembelajar. Ia tak hanya berteori tetapi berusaha menjadikan semua hal baik yang didapat sebagai pedestal hidup. Ia teladan yang memimpin di depan. Pernah suatu malam, bersama teman-teman Angkatan Muda, kami berinisiatif “ngamen” mencari dana bagi Arthur Salu, bocah Mayau yang divonis gagal jantung sejak lahir. Donny bikin saya terperangah karena dengan santainya berdiri di jalanan depan Landmark Ternate sambil memegang sebuah kardus untuk menampung sumbangan dari warga yang berlalu-lalang dengan kendaraan.
“Berbuat baik tak bisa dibatasi oleh waktu dan tempat”. Begitu prinsip hidupnya. Kebaikan hidup adalah jalan yang dipilih Donny saat memutuskan jadi Pendeta usai menamatkan kuliah di UKIM. Ia menghabiskan sebagian besar “periode belajar jadi pendeta” di tanah Kei. Di tanah para Raja itu juga, agama dan budaya jadi dua sisi mata uang sosial yang dipertautkan. Di sana, Tuhan memberkahi rumah tangganya dengan kehadiran Ain – nama yang jadi penanda filosofis orang-orang Kei tentang penghormatan atas nilai kepemilikan dan batas yang tak boleh diperebutkan.
Iman dan akulturasi budaya jadi sesuatu yang menyatukan gerak hidup. Selaras dengan itu, GPM secara terbuka “mengundang” orang untuk berdiskusi dan membangun kebersamaan. Menjadi "Gereja Orang Basudara". Saya jadi ingat dengan argumentasi Dara Shikoh, penulis kitab “Majma ul-Bahrain” atau “Pertemuan Dua Samudera” yang menyebut spritualisme pada dasarnya adalah satu. Agama hanyalah bungkus luar yang tak mampu memisahkan nilai-nilai spiritual yang sama. Urusan spiritual tak hanya soal dimensi Ilahiah tetapi juga urusan kemanusiaan. Bagaimana peradaban terhubung satu sama lain dalam solidaritas sosial dan persaudaraan sejati.
Kedekatan saya dan Donny membuat jarak Ternate dan Mayau terasa dekat. Karena itu, setahun kemudian saya balik lagi ke Mayau. Kali ini kami berlatih tentang mitigasi bencana. Ada puluhan anak muda yang bergabung. Di ujung pelatihan, kami membentuk relawan bencana AMGPM. Ada juga pelatihan SAR laut dan banyak kegiatan sosial lainnya yang menyatukan jiwa kami. Nyaris tak ada rahasia di antara kami. Semuanya mengalir searus dengan kejujuran.
Dari Donny saya juga belajar tentang konsistensi untuk bicara dan bertindak secara benar. Di tengah gempuran disrupsi dan maraknya fenomena post-trust, Donny selalu berpijak pada aturan baik yang bersumber dari langit maupun produk penduduk bumi. Saya ingat betul saat tragedi Kairos terjadi Agustus 2018, di saat keputusasaan dan kehilangan menekan logika, saat gereja "ditinggalkan" dan mistisfikasi jadi jalan keluar, Donny tetap kukuh melakukan pelayanan bersama isterinya. Saya melihatnya tetap berdiri dengan keyakinan saat gereja mulai kehilangan wajah penyelamat. Badai Kairos pada akhirnya meneguhkan pergulatan iman meski mereka yang hilang tak pernah pulang lagi.
Sebagai pendeta, Ia kerap memberikan contoh yang sama persis dengan apa yang diajarkan kitab suci. Pernah satu malam saat Ternate diguyur hujan, saya dan beberapa teman hendak ke rumah makan. Di garasi pastori Gereja Ayam, ada mobil Avanza putih yang terparkir. Saya bilang ke Donny untuk memakai mobil itu. Jawaban darinya memukul akal sehat saya. "Itu mobil pelayanan jemaat, Beta bukan pimpinan jemaat. Ipen yang sering memakainya saat mengunjungi rumah warga. Beta tak berhak memakai mobil itu apalagi di luar urusan pelayanan".
Dirinya juga mengenalkan saya ke keluarga besar GPM. Saya jadi akrab dengan pimpinan dan banyak anggota Sinode di Ambon maupun Ketua Klasis di daerah lain. Saya bahkan beberapa kali ke Bacan dan Obi untuk berbagi pengalaman dan belajar bersama para pendeta di sana. Mungkin suatu saat, saya akan berkunjung juga ke Kei Besar.
Tujuh tahun jejaknya melayani di Mayau dan Ternate membuat kami lebih dari saudara. Saya kerap jadi tempat curhatan jika ada masalah yang mengganggu. Ketika ada ketidakbenaran, Donny selalu bersikap tegas. Ia tak pernah berkompromi dengan kebohongan. Karena itu, Saya merasa nyaman datang ke pastori untuk sekedar berbagi cerita atau menyusun rencana kegiatan yang berhubungan dengan kepentingan banyak orang. Di masa pandemi covid, banyak hal baik yang diinisiasi dan Gereja Ayam selalu menjadi tempat menahbiskan persahabatan.
Saya menyesal tak hadir saat Donny dan keluarganya menyampaikan salam perpisahan untuk seluruh warga Ternate. Tujuh tahun dengan banyak pergumulan, saya tak pernah melihatnya menangis. Tapi semalam saat melihatnya berbicara di atas mimbar, saya ikut menangis dari kejauhan. Airmata sedih bercampur bahagia. Sedih karena Ia meninggalkan Maluku Utara dan bahagia karena Ia dan keluarganya pulang ke tanah Evav.
Donny akan memulai tapak baru sebagai pimpinan Klasis di Kei Besar. Saya berharap Ia terus jadi lentera untuk banyak orang. Jarak bisa melupakan waktu tetapi hati kami akan tetap terhubung. Kebaikan tak bisa dikalahkan. Dan benar katanya, berbuat baik bisa dilakukan dimana saja. Dengan itu, kita akan sangat siap menemui Tuhan.
Asghar Saleh, pegiat Kemanusiaan (Ternate Maluku Utara)