Menjadi Pelapor Di CCA 15th General Assembly : Pdt Agnes Souisa Sampaikan Isu-Isu Publik



Menjadi Pelapor Di CCA 15th General Assembly : Pdt Agnes Soyisa Sampaikan Isu-Isu Publik

Dalam Sidang ke-15 CCA ini, dibentuk tiga Komisi besar yaitu Komisi Kredensi, Komisi Nominasi dan Komisi Isu Publik, selain tiga kelompok lain, yaitu Kelompok 1: General Secretariat, Finance, Relationship and Communications, Kelompok 2:  Mission in Unity and Theology, and Ecumenical Leadership Formation and Ecumenical Spiritualitas, dan Kelompok 3: Building Peace and Moving Beyond Conflict, and Prophetic Diakonia and Advocacy, yang bertugas membahas dan mengevaluasi laporan General Secretary dan Bendahara.




Pendeta Agnes Souisa, dipercayakan menjadi anggota Komisi Isu Publik dan dalam Pleno bertindak sebagai pelapor. 


Dalam laporannya terdapat sembilan issu yang akan menjadi perhatian tugas CCA lima tahun mendatang untuk dirumuskan dalam program. Kesembilan isu itu merupakan bagian dari proposal yang diajukan oleh gereja-gereja di Asia baik melalui organisasi Oikumene nasional maupun secara langsung oleh gereja anggota yang bersangkutan. GPM secara khusus menyampaikan proposal tentang hak masyarakat pribumi dalam hal ini suku Tobelo, Galela, Biru dan Tanimbar dari ancaman relokasi akibat ekspansi perusahaan tambang dan migas.


Kesembilan isu itu adalah:

1. Australia's First Peoples' Voice, yang meminta agar ada perhatian serius terhadap masyarakat pribumi di Australia, dalam hal ini orang-orang Aborigin, agar ada keputusan-keputusan atau konstitusi yang melindungi eksistensi mereka. 


2. Peace on the Korean Peninsula, tentang relasi antara Korea Utara dan Korea Selatan yang stagnan sebagai dampak gagalnya pertemuan tingkat tinggi di Hanoi tahun 2019, dan Vietnam tahun 2020. Berkaitan dengan pandemi covid-19, komunikasi kedua kawasan ini pun tertutup. Karena itu gereja-gereja di Asia dipanggil untuk beribadah dan berdoa bersama untuk perdamaian Korea dan membuat kampanye untuk rekonsiliasi dan perdamaian Korea.


3. Statement of the Asian Ecumenical Youth Pre-Assembly, yang meminta gereja-gereja di Asia lebih banyak mendengar suara pemuda seputar masalah perdamaian, dan membuka ruang untuk partisipasi pemuda dalam tugas memulihkan dunia. Mereka juga meminta organisasi gereja di masing-masing negara mendorong partisipasi aktif pemuda dalam pengambilan keputusan dan memberdayakan mereka untuk berani bersuara, serta meminta semua pemuda gereja di Asia keluar dari zona nyamannya dan masuk ke isu-isu global seputar perubahan atau krisis lingkungan, iklim dan tanggap terhadap isu-isu lintas generasi.


4. Exploitative Extraction and Forcible Displacement, yang secara khusus menjadikan isu eksploitasi sumber daya alam dan hilangnya nilai HAM dalam beberapa kasus di Indonesia. Hal yang menjadi penekanan kuat  ialah kiamat ekologis sebagai dampak dari ekspansi perusahaan pertambangan, seperti terjadi di Papua, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Riau, Maluku Utara (Obi) dan Maluku (Seram, Buru, Tanimbar). Bahwa ada masyarakat pribumi terancam direlokasi atau kehilangan hunian seperti dialami kelompok masyarakat Tobelo, Galela, karena itu penting menjadi perhatian untuk advokasi yang memungkinkan mereka memperoleh hak secara ekonomi, sosial dan kultural. 


5. Statement of Asian Ecumenical Women's Pre-Assembly, yang menyoroti ketidakseimbangan ekosistem sambil mendorong langkah-langkah yang tepat untuk fokus kepada kemanusiaan terutama orang-orang miskin sebagai dampak ketidakadilan. Beragam isu seputar masalah yang dialami perempuan mendapat penekanan kuat di tengah beragam kondisi yang tidak adil dan tidak seimbang.


6. Creation Care, yang secara tegas menyoroti pentingnya gereja-gereja melakukan aktifitas yang transformatif untuk memulihkan ciptaan Allah dengan melakukan langkah-langkah advokasi untuk memulihkan kondisi ciptaan Allah.


7. Statement of Asian Ecumenical Migrant Advocacy Network Pre-Assembly Forum, yang menyoroti hal dan perlakuan tidak adil kepada pekerja migran dengan semua aspek kehidupannya dan meminta gereja-gereja di mana para pekerja migran berada untuk melayani mereka sebagai keluarga mereka sendiri.


8. Let Peace be the Imperative, Not the Alternative, agar gereja-gereja berkolaborasi melakukan advokasi dan memperkuat aplitudonya melawan aksi-aksi militerisasi di berbagai negara seperti Korea dan perairan Cina Selatan.


9. Human Dignity and Wholeness of Life, pada isu-isu kesehatan, kesehatan reproduksi, sampai pada menghilangkan stigma kepada mereka yang mengalami masalah kesehatan tertentu. Salah satu point yang penting di sini adalah perlunya edukasi kepada para pelayan di gereja untuk memahami masalah kesehatan termasuk kesehatan mental untuk menghindari kekerasan psikis kepada mereka yang sakit.