Menamakan Jemaat Hasil Pemekaran



Menamakan Jemaat Hasil Pemekaran

MENAMAKAN JEMAAT HASIL PEMEKARAN

Beberapa Pertimbangan Teologis

Oleh : Pdt. Prof. A.M.L.Batlajery,Ph.D

Pengantar

            Saya diminta memberikan beberapa pertimbangan teologis tentang bagaimana memberi nama kepada sebuah jemaat baru yang terbentuk sebagai hasil pemekaran. Karena itu, soal mengapa dan untuk apa pemekaran dilakukan serta landasan konstitusional bagi dilakukannya pemekaran, tidak disinggung di sini. Tentang hal ini, majelis dan warga jemaat dapat membacanya pada Tata Gereja dan Peraturan Pokok GPM tentang Jemaat serta Keputusan Sidang Jemaat GPM Rehoboth sendiri  tentang pemekaran.

            Banyak jemaat yang besar jumlah jiwa warganya dan luas daerah pelayanannya memutuskan untuk melakukan pemekaran, lalu memprosesnya melalui beberapa tahapan sebagaimana lazimnya. Namun, tidak semua proses pemekaran berjalan lancar. Ada yang  justeru menimbulkan permasalahan serius sampai pada tingkat perpecahan jemaat. Oleh karena itu, memang pemekaran jemaat harus dilakukan dengan hati-hati dan melalui persiapan yang matang. Bila pemekaran telah ditetapkan maka hal berikut yang harus dipikirkan adalah nama apa yang akan diberikan kepada jemaat baru hasil pemekaran tersebut.

            Dalam kaitan dengan pemekaran jemaat GPM Rehoboth sebagaimana telah diputuskan dalam Sidang Jemaat,  maka beberapa pertimbangan berikut ini dapat dipikirkan dalam rangka memberi nama kepada jemaat baru bentukan hasil pemekaran.

1.   Kuasa memberi nama

Sesungguhnya Allahlah yang berdaulat memberi nama. Tatkala menciptakan langit dan bumi beserta isinya, Ia memberi nama kepada masing-masing ciptaan-Nya, termasuk manusia. Adam yang berarti manusia (maskulin) adalah nama yang diberikan kepada manusia ciptaan-Nya. Dan Ia memandang semuanya baik (Kej. 1). Kemudian barulah kuasa memberi nama itu Ia berikan kepada manusia. Maka manusia (baik personal maupun komunal), binatang, tumbuh-tumbuhan, barang atau benda, tempat-tempat semuanya diberi nama sehingga mempunyai nama. Nama itulah yang membedakan makluk yang satu dengan yang lainnya. 

Siapakah yang memberi nama itu? Pertama-tama Allah dan kemudian manusia. Manusialah yang diberi kuasa oleh Allah untuk memberi nama, entah kepada sesamanya maupun kepada makluk dan benda lainnya. Karena itu, kuasa memberi nama merupakan hak istimewa manusia yang diberikan Allah, demikian C.S. Song.[1]  Kemampuan memberi nama adalah tanda sifat manusia. Kita orang Kristen menganggapnya sebagai kemampuan yang diberikan Allah. Buktinya terdapat dalam Alkitab, misalnya Kejadian 2:19-20.[2]

Maka kedudukan manusia di dunia sebagai pemberi nama adalah kehendak ilahi. Tidak ada makluk lain yang dapat menantang atau mengambilnya dari manusia. Dengan begitu, teologi yang kuat telah dibangun di sekitar masalah pemberian nama ini. Para teolog dengan tepat mengatakan bahwa nama bukanlah sekedar nama. Sebuah nama bukanlah sebuah konsep kosong. Ia adalah sebuah substantif, yang sudah tentu ada hubungannya dengan sebuah hakekat. Maka, sebuah nama adalah sesuatu yang sungguh-sungguh, karena nama juga mengungkapkan totalitas dari si penyandang nama, demikian Song.[3]

Oleh karena itu, memberi nama kepada sesuatu harus dilakukan dengan kesadaran  yang sungguh dan pertimbangan yang matang akan maknanya. 

 

2.   Makna di balik sebuah nama

Kuasa memberi nama seperti telah dikatakan di atas paling tampak ketika orang tua, dari kebudayaan tertentu, memberi nama kepada anaknya yang baru dilahirkan. Menurut Andar Ismail, perhatian besar terhadap penamaan anak merupakan hal penting dalam kebudayaan Asia dan Afrika. Bagi orang-orang dari kebudayaan ini, pemberian nama merupakan perbuatan yang sangat penting. Nama yang diberikan tidak dipilih secara sembarangan. Orang tua memilih nama yang mengandung arti yang baik untuk anaknya dan juga untuk mereka. Dalam memberi nama, orang tua mencurahkan segala pengharapan dan kerinduan mereka. Itulah sebabnya, menurutnya, banyak nama orang Asia dan Afrika mengandung arti atau lambang yang dalam.[4]

Sebagai contoh dikemukakan beberapa nama dan maknanya berikut ini: nama Kholisane di Afrika Selatan berarti Pembawa Damai; nama Lumba di Nigeria berarti Pujilah Tuhan; nama Syarif di Mesir berarti Damai dan Bijak;  nama Dong Hi  di Korea berarti Sinar Timur; nama Fung An di Tiongkok berarti Angin Yang Mendatangkan Kebaikan. Di Indonesia seperti misalnya di Tapanuli, orang diberi nama Hasintongan artinya Kebenaran; di Nias nama Sarofati berarti Keteguhan Iman; nama Atikah di Jawa Barat berarti Didikan Yang Baik; nama Sri Rejeki di Jawa Tengah berarti Yang Mendatangkan Banyak Berkat.[5] Karena nama mempunyai makna, atau dengan kata lain harus bermakna, maka sering dilakukan musyawarah antara para sesepuh atau tetua dari keluarga, sebelum sebuah nama diberikan.

       Pemberian nama yang mengandung makna ini juga banyak terdapat dalam Alkitab.[6] Dalam kebudayaan Yahudi terdapat hal yang sama pula. Itulah sebabnya ketika Maria melahirkan anak laki-laki, mereka menamai Dia Yesus (Lukas 1:31). Nama Yesus adalah bentuk Yunani dari nama Ibrani Yehoshua yang disingkat menjadi Yoshua atau Yeshua yang artinya “Yahwe Menyelamatkan”.[7] Atau yang menurut Injil Matius, anak laki-laki yang dilahirkan Maria itu diberi nama Imanuel yang artinya “Allah Menyertai Kita” (Mat.1:23). 

Tidak hanya nama orang melainkan nama tempat juga mempunyai makna. Ebenhaezer misalnya artinya “Sampai di sini Tuhan Menolong (1 Sam.7:12). Betel artinya Rumah Allah (Kej. 28:19-22); atau Rehobot, (= tempat luas, ruang), nama sebuah sumur yang berarti “tidak bertengkar” (Kej.26:22);[8] atau Elephantine adalah lokasi pertahanan pasukan Yahudi pada abad ke-6 dan ke-5 sM, di sebelah Selatan perbatasan dengan Mesir, yang kemudian dihuni oleh orang-orang sipil Yahudi, yang memiliki baitnya sendiri untuk memuji Yahweh.[9]

Selanjutnya tentang nama bagi suatu perkumpulan orang atau sebuah komunitas. Dalam Alkitab Perjanjian Lama, nama Israel diberikan kepada sekelompok orang yang dibebaskan dari Mesir atas pimpinan Musa yang diutus Allah untuk pembebasan itu. Israel berasal dari kata Ibrani yisra’el yang artinya “Allah bergumul”. Nama ini dipakai untuk menunjuk kepada dua entitas: 1) Nama baru yang diberikan kepada Yakub sesudah malam pergumulan di Pniel (Kej. 32:28); 2) Bangsa yang menelusuri leluhurnya hingga kepada ke-12 anak Yakub. Ada beberapa bentuk nama seperti ‘Israel’ (Kej.34:7), ‘orang Israel’ (Kej.32:32), ‘keduabelas suku Israel’ (Kej.49:16,28).[10] Mereka ini memandang dirinya sebagai ‘milik Allah’, sehingga muncul sebutan “Israel milik Allah”. Rasul Paulus kemudian menggunakan istilah “Israel milik Allah” ini untuk menyebut gereja yang merupakan campuran umat Yahudi dan bukan Yahudi.[11]

Dalam Perjanjian Baru ada dua kata Yunani yang dipakai untuk menunjuk kepada perkumpulan orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya (baca gereja) yaitu “kuriake/kyriake” dan “ekklesia”. Kyriake artinya “yang menjadi milik Tuhan”. Sedangkan Ekklesia berarti “rapat atau perkumpulan yang terdiri dari orang-orang yang dipanggil untuk berkumpul”. Sementara kata ‘gereja’ sendiri berasal dari bahasa Portugis igreya. Kedua pengertian ini tercakup dalam pengertian ‘gereja’ (dapat dibaca jemaat) yang kita pakai sekarang.[12] Dari kedua kata Yunani tersebut di atas, kata ekklesia paling popular di kalangan jemaat, sehingga ada jemaat yang menamakan gedung gerejanya “Eklesia”, ada jemaat yang menamakan jemaatnya sendiri “Eklesia”. 

Akan tetapi dalam Perjanjian Baru, nama jemaat-jemaat baru hasil pekabaran Injil Paulus, disesuaikan dengan nama kota atau desa di mana orang-orang Kristen baru itu berada. Misalnya Jemaat Korintus di kota Korintus, Jemaat Efesus di kota Efesus, dll. Hal ini tentu bukan tanpa makna. Jemaat-jemaat itu memahami dirinya sebagai bagian dari gereja Kristus yang satu, kudus, am dan rasuli di muka bumi, yang kebetulan berada di kota-kota tersebut.  

 

3.   Nama harus bermakna

Uraian di atas menunjukkan bahwa secara teologis, ada makna di balik setiap pemberian nama. Baik nama orang, nama tempat maupun nama bagi sebuah komunitas. Nama bukan sekedar nama, bukan pula sembarang nama. Sebuah nama tak pernah kosong makna. Ini harus kita sadari sebagai pihak yang berkuasa memberi nama. Nama mengandung arti, yang menurut kita baik; baik bagi pemberi nama maupun bagi yang menerima nama itu. Dalam sebuah nama tersirat atau tersurat konteks gumul lahirnya nama itu, terkandung pula harapan dan kerinduan tertentu. Bahkan terkandung tanggung jawab yang besar. Seorang filsuf Perancis, Duc de Levis, menggunakan istilah “Noblesse Oblige” untuk menerangkan hal ini. Artinya, nama yang luhur mengandung tanggung jawab yang luhur pula.[13]

 

4.   Belajar dari tradisi gereja

Selain memperhatikan konteks dan makna yang terkandung dalam sebuah nama, maka dalam menamakan sebuah jemaat baru hasil pemekaran, kita bisa belajar dari pengalaman jemaat perdana, pengalaman jemaat lain dalam lingkup GPM atau pengalaman jemaat kita sendiri yang pernah melakukan pemekaran. 

Pertama, jelaslah bahwa pada jemaat-jemaat perdana masa Perjanjian Baru, setiap jemaat baru hasil pekabaran Injil, nama jemaat-jemaat tersebut disesuaikan dengan nama desa atau kota tempat mereka berdomisili. Di sini aspek keuniversalan gereja menjadi dasar pemaknaan. Kedua, Ketika jemaat Bethel di Mardika melakukan pemekaran, sudah ada gedung gereja Imanuel di Karang Panjang. Maka, ketika wilayah pelayanan Karang Panjang dimekarkan, nama jemaat itu menjadi  “Jemaat GPM Imanuel Karang Panjang”. Nama jemaat tersebut diambil dari nama gedung gereja yang sudah ada di situ ditambah dengan lokasi jemaat itu. Ketika jemaat Rehoboth melakukan pemekaran yang hasilnya adalah terbentuk jemaat GPM Nehemia Benteng dan Jemaat GPM Imanuel OSM, pola yang sama terjadi. Di situ sudah ada gedung gereja yang namanya Nehemia dan Imanuel.[14] Jadi, di sini nama jemaat baru itu disesuaikan dengan nama gedung gereja yang sudah ada di situ ditambah dengan nama lokasi setempat. Ini cara yang paling lazim. Tradisi ini rupanya berinspirasi pada penamaan kebanyakan gereja yang ciri denominasionalnya ditonjolkan, lalu digabungkan dengan lokus kewilayahan setempat. Maka jadilah Gereja Protestan Maluku (GPM), Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB), Gereja Protestan Indonesia Papua (GPIP), dll. Tentu saja penamaan gereja semacam ini lahir dari hasil pergumulan yang panjang juga, yang dalamnya selalu terbesit makna tertentu. 

KetigaAda jemaat yang menamakan jemaat hasil pemekaran dengan hanya membubuhkan atau menambahkan mata angin guna membedakan jemaat baru yang satu dari yang lain, serta dari jemaat induknya. Misalnya, Jemaat GPM Passo Utara, Jemaat GPM Passo Selatan, dari Jemaat GPM Passo sebagai induknya. Rupanya aspek historisitas jemaat Passo hendak dipertahankan dalam penamaan ini. 

 

5.   Bagaimana dengan jemaat GPM Rehoboth? 

Tentu saja pemekaran jemaat bukan hal baru bagi jemaat Rehoboth. Semua tradisi penamaan di atas bisa menjadi acuan, tergantung tradisi mana yang dipandang pas dan cocok bagi konteks Rehoboth sekarang. Pertanyaannya, apakah mungkin ada penamaan yang baru sama sekali di luar tradisi di atas? Bisa saja dan mungkin saja. Namun dalam hal ini harus ditegaskan bahwa baik penamaan berdasarkan tradisi maupun penamaan baru sekalipun, kedua-duanya tidak boleh mengabaikan aspek penting dan mendasar dari suatu penamaan jemaat yakni makna teologisnya. Makna tersebut hendaknya disepakati bersama dan dapat dijelaskan bersama pula.

Demikian beberapa catatan. Semoga sedikit atau banyak ada manfaatnya. 

 

                                                                                           

Ambon, 24 Agustus 2021

Pdt. Agustinus M.L. Batlajery

Disampaikan kepada KMJ Jemaat Rehoboth

Sebagai bahan pertimbangan 


[1] C.S. Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami (terj.),  (Jakarta; BPK Gunung Mulia, 1989), 5.

[2] Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami, 5.

[3] Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami, 5-6.

[4] Andar Ismail, Selamat Natal (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 29.

[5] Ismail, Selamat Natal, 29.

[6] Andar Ismail, Selamat Berbuah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 53-56. Dalam buku ini sederet nama perempuan dan laki-laki serta artinya dikemukakan.

[7] Ismail, Selamat Natal, 31. 

[8] Makanya kalau di jemaat Rehobot terdapat orang-orang yang suka bertengkar, itu tidak sesuai dengan namanya.

[9] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, (terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 91.

[10] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, (terj) (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1992), 447.

[11] Browning, Kamus Alkitab, 159.

[12] Lihat Ajaran Gereja GPM, Pertanyaan dan Jawaban No. 114. 

[13] Lihat Andar Ismail, Selamat Mengikut Dia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 87.

[14] Jemaat-jemaat ini dimekarkan pada saat saya masih menjadi pendeta muda di tahun 1980-an. Bila saya salah, mohon dikoreksi. 



Berikan Komentar

Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin