Melampaui Persidangan; Keindahan Budaya dan Spiritualitas dalam Perjalanan Pandu Sidang MPL PGI
Pandu dan Kaderisasi ekumenis
Sidang MPL PGI yang dilaksanakan di Mentawai, pulau Sipora, Kabupaten Tuapejat, Sumatera
Barat, menjadi panggung solidaritas antar 26 pandu yang datang dari gereja dan
sinode yang berbeda-beda dengan tugas menunaikan panggilan untuk melayani. Di
sana, kami bukan hanya pelaksana tugas teknis, tapi juga penjaga kehangatan
keramahtamahan persidangan. Dalam perjalanan kami, dari urusan biaya hingga
melewati drama transportasi, lahir kisah-kisah unik. Setiap perjuangan menjadi
benang merah pengalaman ekumenis kami, mengikat kami sebagai sahabat dalam
perjalanan yang penuh makna.
Di Mentawai, pandu tak hanya berfokus pada tugas teknis. Sebagai pandu,
kami adalah penjaga atmosfer persidangan, menciptakan ruang pengkaderan dan
pertumbuhan keramahtamahan yang hangat. Dalam perjumpaan dengan sahabat baru,
lahir pengalaman ekumenis yang tak ternilai, melampaui batas gereja dan sinode.
Ketua Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom, M.Th, memberikan sentuhan mendalam pada
saat penutupan persidangan, dengan menggarisbawahi bahwa pandu sidang adalah
proses kaderisasi. Dalam proses ini, setiap pandu menjadi agen perubahan,
bertumbuh dalam kapasitas kepemimpinan dan tanggung jawab. Pandangan ini
memberikan makna baru pada setiap tugas teknis yang kami laksanakan,
menjadikannya langkah konkrit dalam membangun pemimpin masa depan gereja.
Persidangan, yang mungkin di mata banyak orang adalah agenda formal,
ternyata menjadi wadah di mana kebersamaan tumbuh subur. Dalam setiap sudut
Mentawai, tergambar perjalanan unik para pandu, menjadi bagian tak terpisahkan
dari kisah persidangan yang penuh semangat dan kebersamaan.
Perjumpaan dengan Budaya
Dalam arak-arakan penejemputan MPH PGI dan peserta sidang MPL PGI, terjadi perjumpaan yang menyayat hati dengan keajaiban budaya lokal. Tarian sikere,
dilakukan oleh manusia-manusia asli Mentawai (Siberut) di tepi laut sebagai
simbol keberagaman yang memukau. Bebrbusana
pakaian kulit dari pepohonan dan gendang khas kulit ular yang menggema, terasa
sebuah keindahan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Inilah substansi
kebhinekaan yang luhur, terwujud dalam kesederhanaan pakaian dan kekuatan ritme
yang menembus jiwa.
Pada momen penyambutan, terasa hangatnya sambutan dari leluhur. Mereka
tidak hanya hadir dalam tarian dan ritus, tetapi juga dalam setiap serat pakaian
kulit dan dentingan gendang. Mereka memberikan sambutan tanpa kata-kata, namun
begitu kaya makna dan penuh persaudaraan. Ritual ini bukan hanya sekedar
pertunjukan budaya, melainkan juga perjalanan spiritual yang membelah hati. Di
dalam langkah tarian dan getaran gendang, terasa kehadiran leluhur, memberi
pengertian bahwa kita semua adalah bagian dari rentetan sejarah yang bernilai.
Kehangatan dan persaudaraan yang tercipta, tidak hanya menyaksikan budaya
Mentawai, tetapi juga merasakan kedalaman hubungan antarmanusia. Momen ini
bukan hanya menggugah perasaan, melainkan juga menjadi pelajaran hidup tentang
bagaimana keberagaman bisa menjadi kekuatan penyatuan. Perjalanan kami bukan
hanya menyentuh sidang dan budaya, tetapi lebih mendalam, menyentuh hati. Momen
ini tak hanya menjadi kenangan dalam perjalanan sebagai pandu sidang MPL PGI,
melainkan juga menjadi coretan keindahan dan kebijaksanaan di lembaran hati
yang tak terlupakan.
Keugaharian gereja
Di hari kedua persidangan yang menguras energi, daya, dan tenaga, sidang
disuguhi paparan materi Ugahari oleh Romo Setya Wibowo. Seakan-akan angin segar
menghembuskan semangat baru ke dalam ruang sidang yang lelah. Ugahari menginspirasi
seluruh peserta sidang dalam proses perancangan dan pengambilan keputusan
Keugaharian mengajak gereja-gereja untuk memahami dan menerapkan kehidupan
yang cukup dan sederhana. Hidup dalam kesederhanaan yang cukup bukan hanya
sebuah ajakan, melainkan sebuah panggilan untuk merenungkan kembali esensi iman
dan pengabdian. Ugahari menjadi panduan untuk memaknai hidup yang tidak hanya
fokus pada materi, melainkan juga pada nilai-nilai spiritual.
Ugahari selebihnya perlu diimplementasi dalam ruang-ruang kehidupan yang
lebih luas, dimensinya. Persidangan membagi gereja berdasarkan wilayah, dengan mengajukan
bahan diskusi pada isu-isu strategis dan tantangan gumul PGI selama ini. Ada tujuh
kelompok sharing wilayah, kelompok 1 adalah gereja-gereja yang ada di wilayah
Sumatera Barat. Kelompok 2, Sumatera bagian Selatan. Kelompok 3, Jawa dan
Banten, Kelompok 4, Bali, NTB, NTT, dan Kalimantan. Kelompok 5, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tengah dan Gorongtalo. Kelompok 6, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat,
dan Sulawesi Tenggara. Kelompok 7, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua
Barat.
Dalam agenda sharing wilayah, beberapa point penting dibahasa, antara lain pembahasan
pada krisis keluarga dengan meningkatnya
kasus KDRT, kekerasan anak, bunuh diri pemuda, penggunaan narkotika dan
transformasi digital di masa depan. Gereja-gereja didorong
untuk berjejaring dan mengembangkan kerjasama oikoumene. Dinamika kerjasama perlu
didiskusikan, termasuk isu-isu pengikat dan model-model aktifitas bersama. Tantangan lain yang juga disoroti adalah "demokrasi” (bahasa PGI; mendung demokrasi)"
di Indonesia.
Kesederhanaan dan atau keugaharian perlu diterapkan dalam pengambilan
keputusan politik, dengan kesadaran dan pendewasaan yang cukup. Perlu ada pemahaman
bahwa tindakan politik yang diilhami oleh nilai-nilai keugaharian dapat membawa
perubahan yang positif dalam masyarakat. Kesederhanaan dalam kepemimpinan
politik dapat membuka jalan untuk keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
Ugahari menjadi panggilan untuk melibatkan nilai-nilai spiritual dalam setiap
aspek kehidupan, termasuk dalam keputusan politik yang mendefinisikan arah
bangsa. Dengan menggandeng spiritualitas keugaharian, proses persidangan dibawah
masuk pada pendewasaan dan pertumbuhan rohaniah. Keugaharian menjadi jalan
menuju kehidupan yang lebih bermakna, tidak hanya untuk individu, tetapi juga
untuk masyarakat dan negara secara keseluruhan.
Sebagai pandu sidang MPL PGI, perjalanan kami di Mentawai tak hanya
mengenalkan dinamika persidangan gereja tetapi
juga mengenal dan belajar banyak hal tentanag budaya lokal dan spirit ugahari yang membangkitkan semangat. Terima
kasih Gereja Protestan Maluku (GPM) dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
(PGI) atas kesempatan menjadi pandu yang tak terlupakan. Pengalaman ini membuka
mata kami pada keindahan keberagaman dan kedalaman spiritualitas, menjadi
pelajaran hidup yang berharga. Semoga perjalanan ini tetap menyala sebagai
cahaya inspirasi dalam mewujudkan persatuan dan keadilan di dalam dan luar
gereja.
Surah Sabeu, GPM dan PGI, atas perjalanan rohaniah yang
mendalam dan penuh makna ini.
Penulis: Devins
Y. Walalayo