Manuputty : Paduan Suara Gerejawi Bertugas Melakukan Transmisi Injil
Jakarta, sinodegpm.id-, Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) Nasional XIII telah digelar di Provinsi D.I. Yogyakarta, dan diawali oleh kebaktian di pelataran Candi Prambanan. Secara tidak langsung, hal ini pun menegaskan tentang harmoni Indonesia dalam keragaman agama dan memberi pesan bahwa agama tidak akan membelah masyarakat melainkan menjadi irama dalam harmoni persaudaraan sejati.
Pendeta Jacklevyn F. Manuputty, Sekretaris Umum PGI, melayankan kebaktian ini dalam khotbahnya sesuai teks Mazmur 150:1-6, yang sekaligus menjadi dasar Alkitab pelaksanaan Pesparawi Nasional XIII.
Dalam khotbahnya, Manuputty menarasikan alasan syukur dan pujian kepada Tuhan karena Tuhanlah satu-satunya yang layak dipuji. Baginya, meskipun pewartaan sabda adalah inti dari kebaktian namun pewartaan musik adalah bagian dari ibadah secara menyeluruh karena di dalam pewartaan sabda yang disentuh lebih banyak adalah kognisi, pemahaman. Kita biasanya berdoa meminta Tuhan memberi kita pemahaman dan memampukan kita melakukannya sehari-hari, dan musik gereja memperkuat transmisi firman yang menyentuh ruang rasa, afeksi, sehingga musik dan paduan suara gerejawi menempati posisi dan tempat yang penting dalam pemberitaan gereja.
Musik, baginya adalah medium transmisi Injil dan Pastoral yang menghadirkan pemulihan dan pembebasan, sambil mencontohkan sejarah musik Gospel bagi masyarakat Afro-Amerika yang menjadikan musik gereja sebagai bagian dari perjuangan melawan tekanan psikhis, kekerasan, penyakit dan melaluinya mereka merasa tenang dan tenteram, dan pembebasan. Sebab itu peran musik gerejawi harus terus menerus dirayakan dalam hidup bergereja.
Pesparawi, bagi Manuputty, yang juga gemar teater ini, menjadi ruang untuk warga gereja menunjukkan pentingnya pelayanan musik dan Paduan Suara bagi pertumbuhan religiositas jemaat. Dalam kehidupan gereja saat ini, masyarakat memiliki banyak nada, banyak musik, dan ada banyak nada sekuler tentang kekerasan yang membanjiri masyarakat kontemporer melalui musik.
Ada banyak musik berfokus pada kepuasan pribadi dan tidak banyak merubah atau mencerahkan pikiran. Dan sayangnya banyak musik gereja ditarik ke ranah sekuler. Banyak musik gerejawi yang pernah membentuk iman Kristen dalam sejarahnya saat ini semakin kalah penayangannya bahkan di dalam media-media Kristen. Saat ini sejumlah besar musik gospel miskin pesan gerejawi. Banyak musik tidak lagi mengantar orang berpusat pada Tuhan dan mengurangi kemampuan jemaat mengharapkan hari-hari hidup yang cerah.
Pemahaman tentang Mazmur 150 mendorong Gereja memperkuat pesan musik gereja menangkal pengaruh yang negatif dan menciptakan pemahaman umat yang memuji Tuhan. Paduan Suara tidak boleh menjadi tempelan dalam ibadah umat.
Karena itu Manuputty, turut mengkritik suasana ketika ditemukan pula bahwa tidak banyak Paduan Suara Gereja mempersiapkan diri sebaik untuk Pesparawi dibanding persiapan diri untuk mengambil bagian dalam transmisi Injil dalam ibadah umat.
Manuputty yang adalah Pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM), memberi catatan bernas secara eksegetik, dengan melihat korelasi Mazmur 150 dengan lima (5) bagian Mazmur di akhir Kitab ini yakni pasal 146-150, sebagai Kelompok Pujian Haleluya bagi Allah. Seruan Puji Tuhan, atau Haleluya, menempatkan Tuhan di tempat yang seharusnya meskipun mungkin hidup kita tidak sedang baik-baik saja.
Ditegaskannya pula bahwa sebagai bagian terakhir dari Kitab Mazmur maka pasal 150 merupakan doxologi sempurna yang digunakan dalam doa di Bait Suci dan doa sesehari bagi orang Yahudi sekaligus menjadi hymne simponi bagi Tuhan.
Diuraikannya juga bahwa Mazmur ini dimulai dengan mandat agar segala yang bernafas memuji Tuhan. Dalam konteks biblisnya, para penyembah memasuki bait suci dan memberi respons kepada Tuhan dalam kehormatan dan kerendahan hati. Semangat kerendahan hati itu menolong orang lain menanggapi secara verbal dan nonverbal seruan Haleluya, baik dengan kaki, tangan dan seluruh hidup, sebab segala yang bernafas layak memuji Tuhan atau berseru Haleluya.
Mengakhiri khotbahnya, Pendeta yang juga adalah Provokator Perdamaian ini mengajak semua peserta Paduan Suara Pesparawi mulai dari Soprano, Alto, Tenor dan Bass untuk memposisikan diri seakan-akan Tuhan satu-satunya penonton dari Paduan Suara di Pesparawi ini.