Jalan Damai Adalah Kecerdasan Masyarakat Maluku
Berikut ini suatu catatan kecil dari diskusi Media Center GPM dengan Pdt. E.T. Maspaitella, Ketua Sinode GPM (11/2), tentang potensi sosio-spiritual apa yang membuat masyarakat Maluku mampu hidup dalam relasi “orang Basudara”.
Masyarakat Maluku adalah salah satu tipe masyarakat dialogis, yang selalu mengedepankan cara-cara berkomunikasi untuk memecahkan suatu masalah.
Dalam narasi persaudaraan di Maluku, seperti pada banyak narasi Pela Keras atau Pela Darah, konflik dan peperangan terbuka tidak pernah menghasilkan pemenang. Maka dialog adalah jalan tengah (middle path) untuk mengakhiri konflik seberat apa pun. Bahkan uniknya ialah, dialog itu sama sekali tidak menegosiasikan kepentingan sebagai semacam win win solution, tetapi membangun suatu pranata yang permanen yakni persaudaraan dalam wujud pela, sebagai akta saling mengakui dan menerima sebagai saudara yang tidak bisa dipisahkan lagi.
Ribuan tahun, dari generasi ke generasi, narasi persaudaraan itu telah memberi ciri yang unik kepada masyarakat Maluku sebagai masyarakat yang cerdas mengelola kemampuan dirinya (kearifan lokal) dengan menjadikan damai sebagai bingkai identitasnya.
Seharusnya keunikan itu yang dikembangkan dalam masyarakat modern dewasa ini. Sebab masyarakat modern memiliki banyak “chanel” sosial untuk berkomunikasi. Peradaban yang tinggi dan spiritualitas agama yang luhur adalah “chanel” sosial yang efektif sebab ruang perjumpaan antar masyarakat sudah bisa terjadi secara cepat. Artinya harusnya jaringan-jaringan komunikasi ini dimanfaatkan untuk memperkuat perdamaian antarmasyarakat.
Dengan kata lain, konflik adalah bentuk destruksi peradaban modern itu sendiri. Sebaliknya komunikasi persaudaraan sebagai wujud komunikasi kehidupan patut dijadikan pilihan pertama untuk menyelesaikan masalah.
Di sinilah butuh kemampuan mengelola masalah dalam ranah kekeluargaan, dan menyelesaikan masalah sebagai orang basudara yang saling menjaga satu dengan lainnya.