Hidup Berkelimpahan : Spirit Teologis Untuk Memulihkan Ciptaan
Diskusi tematik pada hari ke-5 General Assembly ke-15 Christian Conference of Asia (1/10) di Gereja Jerusalem Marthoma, Kottayam, mengusung tema Renewal and Restoration of Creation: Attaining Life in Its Fulness.
Dua pembicara dihadirkan, dengan sajian yang bersumber dari tafsir mendalam atas teks-teks Alkitab seputar kehidupan semua ciptaan Tuhan di muka bumi.
Rev. Prof. Vicky Balabanski dari Uniting Church of Australia, mengelaborasi topik "hidup dalam segala kelimpahan" (abundant life) dengan menjadikan teks Yohanes 10:10 sebagai pijakan biblikalnya. Menurutnya, kehidupan yang berkelimpahan itu mesti mengikuti pola kegembalaan Yesus sebagai gembala yang memberi jaminan kehidupan bukan dengan memberi makan dombanya saja melainkan mengorbankan dirinya untuk domba-dombanya.
Yesus menjadi bagian dari kehidupan di dalam taman itu untuk memberi kehidupan yang berkelimpahan. Bahkan dalam pengalaman kebangkitan Yesus, ketika Maria menyangkalnya sebagai tukang kebun, maka kebun itu tidak sekedar bermakna spiritual tetapi suatu lingkungan yang sama dengan taman Eden, ketika Adam menjadi bagian di dalamnya pula.
Vicky membentangkan posisi Yesus dalam taman/kebun, sebagai hal esensial untuk memahami "hidup dalam kelimpahan". Menurutnya Yesus ada dalam konteks taman/kebun dalam Kejadian 2 dan Wahyu 22:1:5, karena itu menurutnya, seluruh ciptaan adalah wujud nyata dari Penciptanya.
Sambil mencontohkan, melalui tayangan video pertanian organik di New Zealand, Vicky mengatakan bahwa model kerja itu adalah bagian dari tanggungjawab manusia memulihkan ciptaan Allah, dan tugas manusia untuk melakukan proses konservasi atas alam.
Pada sesi kedua, Rev. Dr. Raj Bharat Patta, mengelaborasi tema Eco-Public Theology. Dimulai dengan sebuah pernyataan adding life to years, Raj Bharat, yang adalah pendeta Gereja Methodist India, yang juga seorang Staf WCC, menyebut konteks antroposentris yang menjadikan manusia sebagai pusat dari seluruh ciptaan.
Menurutnya ekologisme bisa membuat manusia terjebak dalam kerakusan dan kapitalisasi alam/lingkungan. Hal itu berdampak pada dehumanisasi, sebab pasti ada banyak orang yang menjadi dominan dan sebagian lagi terpisah karena ekologisasi itu.
Menurut Raj, ada tiga aspek yang membuat ketidakseimbangan ekologis. Pertama, kecenderungan umum un-creatureliness, yang bertumpu pada konsep : I am because of what I am only. Pemusatan pada diri manusia ini merupakan bentuk antroposentris yang mengkapitalisasi lingkungan.
Aspek berikut adalah terjadi apa yang disebutnya un-creation, sebagai titik lompatan kepada situasi chaostik, alienasi, tercabutnya kehidupan dari lingkungan ciptaannya.
Ketiga yaitu un-creativity, dimana manusia cenderung memonopoli semua ciptaan melalui keinginan atau kerakusan tiada batas (unlimitlesness of human greed).
Maka untuk membangun hidup dalam kelimpahan, pilihannya hanyalah membangun paradigma Co-creatures (bnd. Yoh. 10:10).
Raj lalu menyebut paradigma itu sebagai jalan kembali ke tanah (turning to the soil), sebab baginya tanah itu hidup karena ber-co-cooperative dengan kehidupan. Pernyataan itu bersumber dari tafsirnya tentang makna kata "adhama" dalam bahasa Ibrani sebagai Allah menghembuskan nafas kehidupan kepada tanah. Karena itu di tanah yang hidup, semua makhluk itu hidup. Tanah adalah tempat di mana semua makhluk berkembang dan hidup.