Gultom : Leimena Itu Contoh Politisi Yang Fenomenal
Diperlukan politisi yang jujur di Indonesia, yaitu politisi yang benar-benar menjalankan peran politiknya tanpa memikirkan sedikitpun kepentingan pribadi dan kelompok, tidak menjadikan kekuasaan untuk menekan siapapun, dan tidak berkelindan di dalam serta membesarkan arus oligarki. Politisi seperti itu patut menjadi teladan bangsa sepanjang masa.
Mungkin hal itu terlampau utopis untuk masa kini, tetapi mengharapkan yang seperti itu tentu sah saja sebab di tengah carut-marut politik Indonesia saat ini, harus ada teladan-teladan bangsa yang bisa diguguh, atau butuh semacam lesson learn dari perilaku politisi yang benar-benar patut ditiru.
Hadir dan memberi materi dalam Pendidikan Politik kepada Pelayan GPM (11/8) yang diselenggarakan Biro Pemberdayaan Ekonomi, Sosial, Politik dan Budaya Sinode GPM, di Gedung Gereja Imanuel OSM, Ketua Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom menyampaikan bahwa politisi yang santun itu merupakan hasil bentukan pembinaan agama atau pembinaan gereja yang baik. Mereka tidak lahir begitu saja, sebab perilaku mereka sudah tentu dibentuk sejak awal sekali dalam keluarga dan lingkungan Pendidikan gereja seperti Sekolah Minggu (SM).
Menurut Gultom, sejauh yang ia pelajari dari sejarah dan berkomunikasi dengan banyak politisi dari masa ke masa, banyak tokoh politik dari Maluku yang membentuk perilaku politik yang baik. Sebut saja J.B. Sitanala di bidang kedokteran, G. Siwabessy, yang kemudian dinobatkan sebagai Bapak Atom Indonesia, dan tentunya Yohanes Leimena, sebagai seorang politisi yang sangat fenomenal. Dalam kondisi negara didalam krisis yang besar, ia enam bahkan tujuh kali dipercayakan menjadi Waperdam, atau jabatan setingkat Pejabat Presiden. Namun ia tidak memperlihatkan suatu gaya politik yang kasar, apalagi rakus kekuasaan. Malah, menurut Gultom, dari referensi sejarah, tokoh politik seperti T.B. Simatupang mengatakan, Leimena sebagai seorang politisi yang rustig, sangat tenang, dan perundingan dengan Belanda tidak berjalan baik tanpa ketentangan Leimena. Bahkan Presiden Republik Indonesia yang adalah Proklamator, Soekarno, mengatakan: “orang terjujur yang saya kenal di Indonesia adalah Leimena. Ia berangkat dari iman kekristenannya untuk melayani”.
Soekarno melihat bahwa spiritual kekristenan yang membuat Leimena tampil seperti itu, dan itu berarti bahwa lingkungan agama harus menyumbang kepada pembentukan karakter politik yang baik. Mengenai hal itu Gultom berpendapat bahwa (pembentukan karakter, red) politik merupakan bagian pergumulan yang harus tetap hidup dalam kehidupan gereja. Di dunia ini, hubungan gereja dan negara saling yang mempengaruhi merupakan suatu keniscayaan. Menurutnya, nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa, seperti Pancasila, adalah juga nilai-nilai yang kita perjuangkan sesuai injil seperti keadilan, kesetaraan, kejujuran; meski ada juga yang bertentangan seperti arogansi, penindasan, dll.
Ada saat di mana gereja-gereja diam, tetapi ada saat juga gereja harus menunjukkan pertentangan dalam dinamika kebangsaan. Dan itu fakta yang terjadi dalam sejarah di banyak negara. Kadang ada pertanyaan, apa yang harus anda patuhi, teks Kitab Suci atau Amanat Konstitusi. Ini pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Gultom mencontohkan bahwa tahun 1985, Indonesia mengalami krisis, ketika lahir UU no. 8/1985 tentang Ormas, dimana diwajibkan semua ormas memuat dalam Tata Dasarnya asas tunggal Pancasila, dan gereja-gereja di Indonesia mengalami kesulitan itu juga, sebab gereja-gereja berdasar pada 1 Kor. 3:11 “karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan yaitu Yesus Kristus”. Sesudah UU itu lahir, terjadi pertentangan sampai PGI menyelenggarakan Sidang Khusus untuk membahasnya, dan akhirnya gereja-gereja di Indonesia memuat rumusan dalam Tata Dasar, bahwa Gereja-gereja di Indonesia mengakui bahwa Kristuslah dasar gereja dan tidak ada yang bisa menggantikan dasar itu. Dalam pengakuan seperti itulah, gereja-gereja di Indonesia menerima Pancasila sebagai asas berbangsa dan bernegara. Dari situlah gereja-gereja merubah Anggaran Dasar/Tata Gerejanya. Artinya tidak mudah untuk memberi jawaban manakah yang harus dipatuhi, teks Kitab Suci atau Amanat Konstitusi.
Tetapi dalam dialektika itu, keteladanan Leimena menegaskan bahwa kesantunan dan keluhuran hatinya sebagai politisi adalah wujud dari dialektika di antara teks kitab suci yang diyakininya dan ideologi bangsa yang dianut bersama sebagai bangsa merdeka. Jadi tidak benar jika ada dominasi satu nilai dasar (ideologi, red) terhadap lainnya, melainkan nilai dasar itu harus membentuk perilaku yang lebih halus, lebih baik, jujur, dan berpihak pada kepentingan bangsa dan masyarakat.