GPM, UNFPA Dan JIP Berkolaborasi Layani SADHA
Ambon, sinodegpm.id,- Miliki perhatian yang sama terhadap masalah-masalah kesehatan membuat
diskusi antara United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia bersama
Jaringan Indonesia Positif (JIP) dan Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM)
berlangsung cair dan penuh keakraban.
Di sela-sela kegiatan di Ambon, Perwakilan UNFPA Indonesia, Anjali Sen
dan Ketua Sekretariat Nasional JIP, Meirinda Sebayang, mengunjungi kantor
Sinode GPM dan disambut oleh Ketua Sinode GPM, Pdt. Elifas Maspaitella, bersama
Pdt. S.I. Sapulette (Sekum), dan dua Wakil Ketua MPH Sinode, Pdt. Ny. L.
Bakarbessy, Pdt. I.H. Hetharie dan anggota MPH Pnt. Ny. B. Sahertian (anggota).
Pertemuan itu mendiskusikan peran GPM dan pimpinan umat beragama dalam
menanggulangi masalah Kesehatan reproduksi, pengurangan resiko kematian ibu
hamil dan bayi, serta pelayanan kepada Saudara yang Hidup dengan HIV/Aids
(SADHA).
Menurut Anjali Sen, perhatian dunia terhadap masalah reproduksi, ibu
hamil dan penyakit menular seksual serta HIV/Aids sangat tinggi, dan dari
pengalaman ke pengalamannya, komponen pimpinan umat beragama dan lembaga agama
seperti gereja memiliki andil yang cukup strategis sebab masih terjadi
diskriminasi dan stigma secara khusus kepada mereka yang hidup dengan HIV/Aids.
Ia pun memberi tanggapan baik terhadap pengalaman-pengalaman baik GPM, termasuk
pelaksanaan Provider Initiated Testing and Counseling (PITC) atau tes rutin sebagai salah satu
strategi penting dalam meningkatkan cakupan layanan tes HIV, sebab dengan
melakukan tes rutin maka hambatan-hambatan yang sering ditemui dapat ditekan.
Ini sangat membantu untuk membantu memperlancar akses layanan Kesehatan.
Diakui oleh Ketua Sinode, bahwa langkah-langkah
yang dilakukan GPM selama ini terkait dengan isu Kesehatan meliputi penyakit
menular seksual (PMS), deteksi dini kanker mulut rahim, pelayanan ibu hamil dan
bayi, dan pelayanan inklusif kepada saudara yang hidup dengan HIV/Aids (SADHA),
dan diffable. Menurut Maspaitella, selama ini pelayanan-pelayanan tersebut
dilakukan melalui pembiayaan internal gereja, dan dalam komunikasi jaringan
dengan Yayasan-yayasan yang ada di Ambon.
Itulah sebabnya, menurut Meirinda Sebayang, Ketua
Seknas JIP, bahwa investasi dana penanganan HIV/Aids di Indonesia sampai saat ini
sedikit saja yang terserap ke Indonesia Timur. Padahal ada satu hal yang sangat
penting dikerjakan di sini pula yaitu bagaimana melakukan Pelatihan Penanganan
HIV/Aids di situasi kebencanaan. Karena dalam situasi kebencanaan, kelompok
perempuan dan anak serta saudara yang hidup dengan HIV/Aids mengalami
kerentanan tersendiri. Bagi Sebayang, selain edukasi, penting juga dilakukan
advokasi perubahan kebijakan, dan selama ini proses tersebut dilakukan melalui
riset serta kolaborasi dengan pimpinan lokal termasuk pimpinan-pimpinan gereja.
Karena itu Maspaitella meminta agar GPM bisa
berkolaborasi dengan JIP dan UNFPA dalam meningkatkan kualitas layanan gereja
terhadap SADHA. Apalagi, menurut Maspaitella, tantangan di GPM adalah akses
layanan kepada mereka yang ada di pulau-pulau, sebab itu di tahun 2023 GPM akan
melaksanakan pelayanan terhadap anak dan perempuan berbasis kepulauan. Sebab di
pulau-pulau, selain kendala transportasi orang tetapi juga akses terhadap
layanan dan obat-obatan. Hal-hal ini pula yang menurut Sen, akan menjadi salah
satu isu untuk didiskusikan dalam jaringan global, termasuk niatnya untuk
membangun koneksi South-South, agar GPM menjadi bagian dalam jejaring dengan
UNFPA dan dapat membagikan pengalaman baik misalnya kepada jaringan yang ada di
Afrika dan negara lainnya.
TERMINOLOGI SEBAGAI KUNCI MENGURANGI STIGMA DAN
DISKRIMINASI
Satu hal yang disadari secara bersama dalam diskusi
tersebut juga adalah masalah terminologi. Sebab itu GPM, seperti dijelaskan
Pnt. Bety Sahertian, menggunakan istilah Saudara dengan HIV/AIDS (SADHA), bukan
ODHA. Hal itu menurut Maspaitella, sebab mereka yang hidup dengan HIV/Aids
adalah sesame manusia yang tidak boleh dijauhi. Itulah sebabnya menurut
Maspaitella, dalam pengembangan pelayanan kepada SADHA, GPM memilih untuk
mengembangkan keterampilan hidup, soft skill, sebab mereka harus
melaksanakan aktivitas sehari-hari di tengah masyarakat, termasuk dalam
program-program gereja.
Hal itu turut diakui bersama oleh Sebayang dan
Anjali, dan bersepakat bahwa beberapa istilah yang kerap menjebak seperti
menyebut mereka sebagai pasien atau orang, apalagi korban.
Terminologi-terminologi ini harus dibereskan untuk melepaskan diskriminasi dan
stigma terhadap kelompok inklusif ini.(*)