Catatan Persidangan Ke 9 Klasis GPM Aru Selatan dan Peresmian Gedung Gereja Rehobot di Jemaat Erersi
Ertil Tulung Na dan Tuan Rumah yang Bersukacita
Catatan dari Persidangan ke 9 Klasis GPM Aru Selatan Tahun 2021 dan Perersmian Gedung Gereja Rehobot di Jemaat GPM Erersin.
Bumi Dosiabil, Jemaat GPM Erersin setahun sebelumnya ditetapkan pada Persidangan ke 8 Klasis GPM Aru Selatan tahun 2020 di Marafenfen sebagai tempat penyelenggaraan Perisdangan Ke 9 Klasis GPM Aru Selatan. Sehingga pada tahun ini, peristiwa itu pun diselenggarakan dengan penuh sukacita dan diikuti serta dihadiri oleh sejumlah undangan pun berbagai utusan dari beragam unsur yakni: unsur Majelis Pekerja Harian Sinode, Majelis Pekerja Klasis, 30 delegasi dari unsur Jemaat, unsur Bendahara dari Klasis dan unsur Pendeta Jemaat. Selain itu, rupanya agenda Persidangan ke 9 ini juga dirangkai dengan Peresmian Gedung Gereja Rehobot milik Jemaat GPM Erersin yang sudah mulai dikerjakan sejak peletakkan Batu Penjuru Gedung Gereja tersebut di lokasinya oleh Pendeta. F. Wattimena pada 30 Juni tahun 2013 silam.
Dua peristiwa akbar ini tentu saja membutuhkan tata kelola yang terencana. Sehingga kelancaran Peresmian Gedung Gereja Rehobot dapat terwujud dan Persidangan pun dapat membuahkan keputusan-keputusan yang bermanfaat bagi pelayanan Gereja Protestan Maluku secara umum dan Klasis Aru Selatan secara khusus. Maka sangatlah menarik jika kita dapat mengetahui informasi dan menelusuri bagaimana Jemaat GPM Erersin melakukan tata kelolanya untuk menyambut dan menyelenggarakan kedua perhelatan besar itu.
Adalah suatu kelaziman jika perhelatan sebuah acara akan sepenuhnya ditangani oleh tuan rumah. Sebagai yang empunya rumah, acara atau maksud-maksud perayaan; ia akan bertanggungjawab penuh atas seluruh persitiwa yang terjadi selama perhelatan dan perayaan tersebut dilangsungkan. Sehingga dalam pengertian umum tadi, perhelatan Persidangan ke 9 Klasis GPM Aru Selatan Tahun 2021 dan Persemian Gedung Gereja Rehobot di Jemaat GPM Erersin secara langsung menyematkan tanggungjawab tuan rumah kepada Jemaat GPM Erersin dalam seluruh persiapan dan pelaksanaannya.
Namun, yang terjadi malah sebaliknya : Jemaat GPM Erersin ternyata bukanlah tuan rumah dari peristiwa akbar tersebut. Tuan rumah dua peristiwa besar itu dipikul oleh warga dari Desa Lorang dan dibantu oleh warga Desa Fatlabata dan Desa Kobraur. Hal ini tentu saja membingungkan jika kita sejajarkan dengan kelaziman tanggung jawab tuan rumah dalam mengurus keperluan rumahnya sendiri. Sebab, dalam dua perhelatan ini tuan rumahnya adalah desa-desa tetangga.
Ketidaklaziman ini tentu saja membingungkan dan mengganggu pikiran. Oleh sebab itu kita perlu menelisik ke dalam dan menemukan pertalian hubungan antar desa dan upaya-upaya yang mereka lakukan untuk mengelola modal sosial yang telah dibangun dan dipertahankan betahun-tahun silam.
Dalam perjalanan kegiatan persidangan dan persemian di Jemaat Erersin, kami berupaya untuk mencari dan menelusuri sebanyak mungkin informasi mengenai ketidaklaziman (atau sebut saja keunikan) tata kelola yang dilakukan untuk keperluan persidangan dan peresmian itu. Kami pun menemukan bahwa ada sebuah modal sosial yang mengikat warga Erersin, Lorang, Fatlabata dan Kobraur sehingga mereka bisa saling bekerja sama dan saling menopang.
Penelusuran kami menghasilkan temuan bahwa sejak dulu telah ada sebuah ikatan yang dibangun oleh datuk-leluhur dari desa-desa tersebut untuk saling mengikat mereka. “Jabu” adalah sebuah pakta perjanjian –secara umum kita mengenalnya dengan dengan istilah Pela- yang diikat antara Erersin dan Kobraur atas pemberian binatang Rusa oleh para datuk-leluhur mereka bertahun silam. Ini tentu saja adalah modal sosial yang mendasari pertalian antar dua desa tersebut.
Lain halnya yang terjadi antara penduduk Erersin dan penduduk Lorang. Kedua desa ini diikat oleh sebuah peristiwa yang terjadi ketika penduduk Erersin keluar untuk pergi dan membantu penduduk Lorang dalam pekerjaan pembangunan dan penyelesaian gedung gereja Jemaat GPM Lorang beberapa dekade silam. Sehingga seluruh proses pekerjaan yakni penyeiapan awal bahan baku pembangunan, tenaga pekerja dan bahan makanan selama pekerjaan dilakukan hingga selesaianya ditanggung seluruhnya oleh penduduk Erersin.
Fatlabata, desa tetangga Erersin pun demikian, sebab karena letaknya yang berdekatan sehingga mereka pun kerap meminta pertolongan ketika harus berhadapan dengan pekerjaan-pekerjaan besar maupun maksud-maksud lain dalam sesehari mereka.
Meminta pertolongan sesungguhnya adalah hakikat dan sifat dasariah dan alamiah yang membentuk manusia. Penelusuran terhadap usaha-usaha saling manolong pun dapat dilacak hingga jauh dalam lintasan sejarah perkembangan-peradaban manusia yang paling purba pun. Harari dalam Sapiens[1]menggambarkan bagaimana perilaku leluhur manusia saling menolong satu sama lain agar dapat bertahan hidup menghadapi musim-musim, serangan musuh dan binatang buas, serta membentuk kelompok yang bekerja sama secara mekanis-terencana untuk berburu dan mengumpulkan makanan. Dalam Perjanjian Lama, Raja Salomo mengirimkan pesan kepada Hiram, Raja Tirus untuk meminta pertolongan dalam pekerjaan pembangunan Bait Suci (I Raja-Raja 5: 1 – 18). Kedua Raja ini saling tolong menolong untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan besar yang menjadi tanggungan mereka.
Itu pula yang terjadi pada dua perhelatan akbar yang telah dijelaskan di atas. Jemaat GPM Erersin mengundang Lorang yang didapuk dengan mandat sebagai Tuan Rumah perhealatan tersebut dan ikut dibantu oleh Fatlabata dan “Jabu” dari Kobraur. Modal sosial yang mengikat datuk-leluhur mereka menjadi dasar untuk saling menolong dalam menangung sebuah pekerjaan ataupun maksud-maksud tertentu.
Dalam bahasa Trangan –bahasa yang dipakai penduduk Erersin- meminta pertolongan dibahasakan sebagai “ertil tulung na” dan kami menyaksikannya dalam kesempatan selama kurang lebih empat hari berada di bumi Dosiabil, Jemaat GPM Erersin. Segala perihal menyangkut urusan “rumah” selama dua kegiatan besar itu berlangsung ditangani oleh penduduk Lorang dan dibantu oleh desa-desa tetangga Fatlabata dan Kobraur. Pekerjaan persiapan, segala urusan dapur dari mulai membuat api hingga terhidang di meja makan, angkut-pikul, memuat dan membongkar, pekerjaan halus maupun kasar; semuanya ditangani oleh tuan rumah dengan sukacita tanpa persungutan.
Sukacita ini terasa sebab saling membalas bantuan adalah sebuah nilai yang telah mereka pegang dan diwariskan turun temurun. Maka, adalah pelanggaran jikalau dalam undangan dan pemintaan atas ertil tulung na, mereka menolak atapun bekerja dengan tidak sungguh-sungguh.
Senada dengan nilai itu, Ketua Umum Majelis Pekerja Harian Sinode GPM, Pendeta. E. T. Maspaitella, M.Si mendorong semua warga gereja untuk saling memberikan pertolongan sebagai wujud nyata dari tindakan bergerja. Dalam kesempatan Resepsi Penutupan Persidangan ke 9 Klasis GPM Aru Selatan, ia merefleksikan konteks pergumulan GPM yang meliputi bentangan geografis laut-pulau sebagai sebuah simbol ekaristi yang menuntut persektuan yang tak terceraikan. Sebagaimana pulau adalah tubuh Kristus dan laut adalah darahNya, maka konteks hidup bergerja di GPM adalah hidup yang ada dalam persekutuan yang tak terceraikan dan yang saling menanggung beban satu sama lain serta menyokong dan menolong dalam menyelesaikan tugas tanggung jawab dengan saling bekerja sama. Sehingga prinsip bergerja yang ada dalam gerak berjalan bersama “sun hodos” dapat terwujud dalam laku aktual dan nyata.
Itulah ertil tulung na dan kesukacitaan dalam konteks bergereja kita yang kami temukan sepanjang perhelatan dua kegiatan akbar di bumi Dosiabil, Jemaat GPM Erersin. Selamat atas suksesnya Persidangan ke 9 Klasis GPM Aru Selatan Tahun 2021 dan Peresmian Gedung Gereja Rehobot Jemaat GPM Erersin. Tuhan memberkati kita dalam setiap usaha-usaha saling menolong dalam perjuangan hidup kita setiap hari.
——–
Kontributor Media Center Klasis GPM Aru Selatan
1. Pendeta D. J. Pattinaja
2. Pendeta Y. W. Lawalatta
3. Pendeta D. Luturmas
4. Pendeta J. C. Latumahuna
5. Pendeta M. Tetelepta
Sumber