AKSES TRANSPORTASI DAN KOMUNIKASI DI PERBATASAN NEGARA TERBATAS, PERLU PERHATIAN SERIUS PEMERINTAH
(06/04/2025) Sidang
ke-12 Klasis GPM Wetar dibuka secara langsung oleh Ketua MPH Sinode GPM, Pdt.
Elifas Tomix Maspaitella, yang juga melayani pemberitaan firman dalam Ibadah Minggu, di Gedung Gereja Elim, Jemaat GPM Arnau. “Saya
melakukan perjalanan pada tanggal 3 April, karena sudah terlambat jadwal kapal
dari Ambon, maka saya harus ke Surabaya, kemudian ke Kupang, selanjutnya ke
Atambua, dan ke Atapupu, setelahnya menumpang kapal Cocabora, milik PT. Batu Tua
Kharisma Permai (Mining) pada 5 April 2025”. Demikian ditulis Maspaitella dalam
pesan WhatsApp kepada Media Center GPM. Perjalanan
itu dilanjutkan pada Minggu, 6 April 2025, pukul 08.00 WIT dari Lurang ke Ilwaki, selanjutnya menumpang jolor dari Ilwaki ke Arnau pada pukul 10.05 WIT dan baru tiba
pada jam 12.35 WIT. Ibadah pembukaan sidang dilaksanakan pada pukul 15.00 WIT, lanjutnya dalam pesan yang sama. “Oh iya, di sini juga signal tidak
terlalu kuat untuk internet dan menerima atau melakukan telepon. Ada jaringan
melalui provider XL (Indosat)”, tambahnya.
Kesulitan
transportasi dan komunikasi itu menjadi fakta sekaligus masalah dalam pelayanan
gereja dan pelayanan sosial di wilayah ini. Hal itu terungkap dalam Laporan
Umum Pelayanan serta tanggapan Jemaat-jemaat atas Laporan Umum Majelis Pekerja
Klasis. Hanya ada satu ruas jalan dari Lurang menuju Ilwaki, dan perhubungan
antar desa lainnya dalam pulau yang terdiri dari empat Kecamatan ini semuanya
harus melalui laut dengan kapal PELNI (Sabuk Nusantara) atau moda transportasi
milik masyarakat, seperti jolor dan speedboat. Dapat dibayangkan jika kesulitan
transportasi tersebut tidak dipecahkan secara sistematis, maka pelayanan dasar sudah
tentu bermasalah. Jarak tempuh ke Ambon sebagai pusat provinsi pun jauh dan
memakan waktu 2-5 hari. Padahal, jarak dan waktu tempuh ke Nusa
Tenggara Timur (NTT) atau Kupang relatif lebih singkat, dan tersedia pula
banyak armada kapal, misalnya di pulau Lirang. Aktivitas ekonomi warga
lebih banyak diarahkan ke NTT bahkan ke Timor Leste. Hal ini, menurut
Maspaitella, perlu diperhatikan oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD)
dan Pemerintah Provinsi Maluku, termasuk pemerintah pusat, mengingat Wetar
adalah pulau terluar yang berbatasan langsung dengan Timor Leste.
"Interkoneksitas
antarpulau, akses komunikasi yang lancar, dapat turut menopang tugas aparatur
pemerintah dan TNI/Polri di perbatasan negara ini", tambahnya. Artinya kita
perlu pendekatan yang integratif dengan dukungan semua sektor guna mendorong
sektor-sektor vital atau unit pelayanan dasar kepada masyarakat atau warga
negara. Terkait dengan itu pula, Pdt. D. Tupalessy, Ketua Klasis GPM Wetar
mengatakan, “perlu ada dermaga di beberapa desa, sebab ada banyak potensi
ekonomi milik warga masyarakat, seperti kopra, kacang mete, dan lain-lain.
Kalau ada dermaga sudah pasti proses bongkar muat akan mudah dilaksanakan, dan
otomatis masyarakat bisa meningkatkan hasil produksinya. Jadi diharapkan agar
hal-hal ini menjadi perhatian serius pemerintah, agar ada perubahan pasti yang
dapat dirasakan oleh masyarakat”.