Agama Harus Dikembalikan ke Arus Utama Perkembangan Peradaban
MENUJU ASEAN IIDC 2023
Gus Yahya: Agama Harus Dikembalikan ke Arus Utama Perkembangan Peradaban
Sehari ini (15/6), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bersama dengan Dirjen Bimmas Islam menyelenggarakan Sosialisasi Menuju ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (IIDC) 2023 di Hotel Shangri-La, Surabaya, Jawa Timur.
Kegiatan ini adalah salah satu event strategis yang akan menjadi terobosan penting Indonesia dalam menciptakan perdamaian, harmoni dan stabilitas kawasan ASEAN dan global, dimana agama mengambil peran penting dan signifikan. Dalam posisi Indonesia sebagai Ketua ASEAN, sudah saatnya dilaksanakan suatu forum agama-agama dan kebudayaan yang harus menjadi driving force bagi pengembangan peradaban baru secara global.
Menurut Ketua Panitia Penyelenggara, Dr. Ahmad Suaedy, M.Hum, kegiatan ini adalah implementasi dari G20 Religious Forum (R20) yang berlangsung di Bali November 2022 yang lalu. Karena itu PBNU bersama Dirjen Bimmas Islam menempuh upaya untuk menciptakan dialog dan perdamaian antar-agama dan kebudayaan, sebagai langkah menempatkan kembali agama dalam pusaran transformasi peradaban global.
Kegiatan ini dihadiri dan dibuka langsung oleh Ketua Umum PBNU, K.H. Yahya Cholil Staquf, atau akrab disapa Gus Yahya, yang sekaligus menyampaikan keynote speech-nya. Narasumber lain adalah Prof. Dr. Kamaruddin Amin, MA (Dirjen Bimmas Islam), Dr. Ahmad Suaedy, M.Hum, Najib Azcha, M.A, Ph.D, dan Holland Taylor.
Turut diundang sebagai peserta adalah 24 perwakilan pimpinan umat beragama dan praktisi kebudayaan yang bertukar pikiran selama satu hari untuk melihat posisi dan peran agama dalam bangunan perdamaian, harmoni dan kerjasama untuk mengembangkan peradaban global melalui kawasan ASEAN.
AGAMA DAN TANTANGAN PERADABAN GLOBAL
Gus Yahya dalam keynote speech-nya melihat sejarah umat manusia yang mengalami jatuh bangun peradaban yang awalnya bersifat parsial atau regional, misalnya perkembangan peradaban Sumeria, Asiria, Mesir, Romawi, kemudian Islam dan semuanya terjadi dalam kawasan yang berbeda-beda, atau juga pada satu kawasan yang sama. Peradaban-peradaban itu kemudian menyebar ke kawasan lainnya dan meluas sampai ke seluruh wilayah di dunia. Saat ini momentum kebangkitan peradaban terjadi secara meluas atau global, dan berlangsung bersamaan dengan gerakan konsolidasi politik.
Menurut Gus Yahya, pada tahap perkembangan peradaban itu, nilai-nilai agama terpinggirkan sebagai semacam nilai privat, dan muncul nilai-nilai lain yang berasal dari luar agama. Sebab itu, saat ini agama harus dikembalikan ke jalur utamanya, sebab agama diyakini bisa menjadi solusi masalah dunia jika para pemimpin agama berbicara secara terbuka dan jujur untuk menyelesaikan problem nyata yang terjadi di masyarakat.
Pada jalur utama itu agama harus menaruh concern pada konflik-konflik yang terjadi, sambil berusaha mengurangi atau menghentikan konflik yang masih terjadi atau terjadi sebelumnya, sebab sampai sekarang masih banyak sumber konflik. Agama ditantang dalam proses membangun peradaban baru yang semakin kompleks. Sebab itu kebangkitan peradaban tidak bisa dilepaskan dari konsolidasi sosial pada basis agama dan etnik/budaya.
Telaah Gus Yahya itu bersumber dari fakta sejarah bahwa pasca Perang Dunia (PD) I, agama perlahan-lahan mulai surut perannya di kalangan aktor-aktor global yang kuat, misalnya Amerika Serikat. Ada temuan bahwa agama tidak lagi sesentral dahulu sebelum PD I, misalnya yang terjadi di Spanyol, Roma, bahkan Arab, dimana nilai agama menjadi sentral dari perkembangan peradaban. Menurut Gus Yahya, konsolidasi politik menuju peradaban baru akan didasari dengan konsolidasi nilai-nilai sebagai brand politik untuk membentuk format konsolidasi politik itu sendiri.
Muncul pertanyaan di sini tentang peranan agama karena yang memiliki pengaruh terbesar saat ini adalah gagasan-gagasan dan nilai-nilai yang bersumber dari luar agama-agama. Misalnya gagasan enviromentalisme atau keberpihakan kepada lingkungan hidup dan inklusisme yang mengarah kelompok yang kurang berperan untuk lingkup yang nyaris tidak terbatas, seperti awalnya muncul isu gender justice namun kini didorong gagasan yang lebih luas dari sekedar itu yakni sexual orientation.
Dalam kompleksitas itulah kini dipertanyakan dimana kedudukan agama-agama. Apakah agama-agama menanamkan nilai-nilai yang layak sebagai basis nilai peradaban baru? Celakanya ialah sampai saat ini agama-agama masih disibukkan dengan konflik di dalam dirinya atau di antara dirinya dengan lainnya. Gus Yahya menyebut bahwa contoh paling konkrit adalah dengan melihat titik-titik penugasan Pasukan Perdamaian PBB di 34 titik konflik. Dari 34 titik konflik itu terdapat 26 titik dimana terjadi konflik agama. Itulah sebabnya agama harus dikembalikan di alur utama dinamika pembangunan perdaban kalau agama ingin memiliki peran yang konstruktif.
Dalam konteks ASEAN atau global, agama-agama mesti mendorong sharing civilization values, sebab itu nilai-nilai yang menjadi bagian dari nilai yang ditandai oleh budaya toleransi, harmoni dan kerjasama dikembangkan untuk menekan impulse-impulse yang berbeda. Dalam arti itu, menurut Gus Yahya, slogan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, yang tertera dalam Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular di abad ke-14, merupakan deklarasi untuk menyatakan bahwa Kerajaan Majapahit, yang dipimpin Raja Rajasanagara atau Hayam Wuruk, bukan Kerajaan Agama, karena kelompok Hindu dan Buddha hidup dalam kesetaraan yang saling mengakui kebenaran yang ada sebagai kebaikan yang utama.
AGAMA SEBAGAI GERAKAN SPIRITUAL DAN ETIKA
Jika agama mau menjadi efektif dalam pengembangan peradaban global maka agama tidak boleh dilihat sebagai identitas melainkan sebagai spiritualitas dan etika. Dan kita bertanggungjawab mengembalikan agama ke ruang yang utama dari perdamaian global, atau mengembalikan agama ke tempat yang lebih terhormat di pentas dunia sebagai spiritual dan etika. Demikian pernyataan Nadjib Azcha, M.A, Ph.D.
Apa yang disampaikannya itu berkait erat dengan tiga aspek penting yang perlu dilihat secara kritis oleh agama-agama dalam paparan Holland Tylor, yaitu religious base civil society, kemiskinan dan developmentisme serta sektarianisme. Artinya agama-agama pun turut bertanggungjawab dan memberi kontribusi aktif terhadap masalah kemiskinan dan Pendidikan. Sejalan dengan itu, Prof. Dr. Kamarudin Amin melihat perlunya agama menjaga tatanan dunia yang harmoni dengan menghidupkan jejaring antar-agama, dan bahwa Indonesia memiliki kesempatan bersejarah di depan untuk membentuk masa depan dunia. Ini tanggungjawab yang harus dikerjakan mulai dari dalam bangsa, di kawasan ASEAN dan dunia.
AGENDA MENUJU IIDC 2023
Dalam diskusi terdapat banyak kontribusi untuk mempersiapkan IIDC 2023. Mulai dari perlunya kolaborasi semua agama di Indonesia dalam penyelenggaraan IIDC 2023 nantinya. Jika perlu semacam kelembagaan, maka perlu ada semacam Task Force yang terdiri dari semua kelompok agama guna memikirkan secara bersama hal-hal yang perlu sebagai tujuan dan capaian IIDC 2023 itu sendiri.
Pada level nilai, apa yang digaungkan dengan harmoni, kerjasama dan toleransi penting untuk dihidupkan bukan di level elite pimpinan umat dan praktisi kebudayaan tetapi di level basis atau umat/jamaah. Tidak boleh juga ada perlakuan yang diskriminatif terhadap kelompok-kelompok kecil di dalam agama, termasuk melalui kebijakan atau keputusan pemerintah dalam urusan-urusan keagamaan seperti larangan atau ijin mendirikan rumah ibadah.
Pentingnya menghidupkan kearifan lokal (local wisdom) harus dilakukan dalam kesadaran bahwa hal itu merupakan nilai (values) utama yang selama ini mampu menyelesaikan banyak masalah konflik antar agama. Pada level paling awal, pembinaan nilai itu sudah mesti dilakukan dalam keluarga-keluarga, serta harus ada rekognisi atau pengakuan terhadap kerja elemen-elemen sosial lain yang selama ini memperjuangkan perdamaian antar agama, yaitu mereka yang selama ini bukan dikategorikan sebagai tokoh, padahal berkontribusi positif.
Eksistensi masyarakat adat merupakan hal yang tidak boleh diabaikan juga dalam pengembangan peradaban baru secara global, sebab eksistensi mereka harus ditempatkan sama dengan semua umat beragama.
Dalam rangka menempatkan Indonesia sebagai driving force pengembangan peradaban di kawasan ASEAN dan global, sudah saatnya Indonesia menjadi semacam exemplary community mengenai bagaimana Indonesia eksis membentuk demokrasi dalam masyarakat majemuk dan pulau-pulau.
Pada konteks itu, butuh agenda-agenda praksis seperti: (a) intensitas interaksi sosial antar warga/umat di level bawah; (b) menghidupkan living laboratory pada basis-basis komunitas yang pernah konflik namun berhasil merajut perdamaian berkelanjutan. Ini bisa menjadi lesson learn tentang nilai-nilai utama yang membuat masyarakat mampu menyelesaikan konflik dan membangun perdamaian, bahkan jika nilai itu adalah hasil tuangan kebudayaan; (c) Pendidikan perdamaian (peace education) untuk membangun perdamaian berkelanjutan (sustainability peace), termasuk bagaimana menyelenggarakan Pendidikan damai dalam konteks media sosial atau disrupsi digital; (d) memperkuat dan memperluas jejaring civil society yang berbasis agama dengan agenda-agenda bersama; (e) mengembangkan spiritualitas kebangsaan dari nilai Pancasila sebagai level tertinggi dari semua local wisdom.
-------
Catatan: Pdt. Elifas Tomix Maspaitella