Konsep Uang Dan Utang
David Graeber adalah seorang antropolog yang menulis buku, "Debt. The First 5000 Years." Sebuah buku yang mampu mencerahkan pembaca dalam memahami konsep uang dan utang berdasarkan temuan beribu-ribu tahun lampau. Temuan Graeber sekaligus mengkritisi klaim teori ekonomi konvensional bahwa kesejarahan uang berakar dari barter. Nyatanya, pasar barter belum ditemukan dalam catatan sejarah. Lagi pula, barter hanya berlaku apabila kedua pihak memiliki kebutuhan sama. Artinya, tak mungkin anda menukar sebongkah emas dengan sebungkus rokok. Harus ada nilai tukar yang disepakati.
Menurut Graeber, utang melibatkan kepercayaan sosial. Seseorang tak akan mungkin memberi pinjaman kepada orang lain tanpa saling mempercayai. Bahkan, penghitungan utang pada masa lampau nyaris mirip sistem virtual money saat ini. Sebagaimana di Mesopotamia kuno, setiap nilai nominal utang terlampir pada tablet yang terbuat dari tanah liat. Nilai nominal itu seakan jadi pengingat supaya kelak melunasi utang. Ketika telah membayar utang maka nilai nominal akan dihapus. Sebaliknya, akan kembali dicatat apabila menambah utang. Secara logis uang tak sekadar jadi alat pertukaran pada masa lampau, tapi juga kewajiban sosial untuk melunasi utang agar melanggengkan kepercayaan.
Karena itu, uang muncul atas kesepakatan nilai tukar. Beberapa benda mengalami objektifikasi sebagai alat tukar. Sebagaimana dalam Alkitab, kita pernah mendengar istilah syikal dan jelai. Sekitar 3500 tahun SM, syikal dijaga ketat di perbendaharaan istana karena mampu menopang sistem moneter Babilonia kuno. Tak banyak orang memiliki syikal pada masa itu sehingga utang dan pajak biasanya dibayar dengan jelai atau gandum. Selain itu, nilai tukar pada zaman kuno juga tercantum pada benda-benda lain, sebagaimana manik-manik, kulit kerang, bulu dan gigi hewan, garam hingga tembakau.
Suatu ketika, Pendeta Izak Lattu pernah menyerahkan artikel tentang Pasar Papringan di Temanggung ke saya untuk dibaca. Pasar itu berlokasi di hutan bambu serta didirikan oleh sekelompok anak muda lokal sebagai upaya merawat kultur dan menyediakan livelihood alternatif bagi pedagang. Biasanya dibuka pada hari tertentu sesuai primbon Jawa (kapan tepatnya, saya lupa). Namun yang menarik, alat pembayaran di sana menggunakan bambu. Uang tunai akan ditukarkan dengan bambu, kemudian bambu itulah yang digunakan untuk membeli dagangan di sana. Itulah gambaran social currencies sebelum rupiah.
Kembali ke Graeber, seiring perkembangan zaman uang koin logam lalu muncul bersamaan dengan sejarah militerisasi. Uang koin logam digunakan untuk mendanai ekspansi militer. Bentuknya lebih portable sehingga leluasa dibawa pasukan militer kerajaan, termasuk untuk membeli hasil panen para petani. Selanjutnya, para petani kembali menggunakan uang koin logam itu saat membayar pajak ke kerajaan. Pada zaman militerisasi, uang beralih fungsi menjadi alat politik.
Dalam konteks Tanimbar masa lampau, kesepakatan nilai tukar membaur dalam perang (ngrihi) dan pertanian (vai). Pada zaman itu, lahan pertanian merupakan komoditas yang dilirik dan ingin dimiliki untuk membangun kedaulatan komunitas. Perebutan lahan pertanian diwarnai pertumpahan darah. Ketika satu komunitas telah membangun permukiman beserta lahan pertanian maka ada upaya melindungi dari komunitas lain yang ingin merebutnya. Tak heran apabila lahan pertanian dijadikan alat penebusan nyawa.
Namun demikian, orang Tanimbar pun memiliki social currencies yang berasal dari benda-benda langka dan dianggap sakral. Sebagaimana ditulis oleh Petrus Drabbe dalam bukunya, "Het Leven van den Tanembarees", tentang alat penebusan dalam adat pernikahan hingga pemberian sanksi, yaitu tenun tua (bakan mnanat), gading gajah, dan giwang emas (loran). Loran telah jadi alat pembayaran pada masa lampau. Beberapa orang pada masa lampau menggunakannya untuk membeli pangan dan membayar tukang. Ada pula yang menyimpannya untuk mahar pernikahan. Bahkan digunakan sebagai alat restitusi apabila berlaku menyimpang kepada perempuan Tanimbar.
Beberapa orang menjelaskan bahwa ketika sistem moneter menjangkit pulau terluar, penebusan tunai malah membunuh norma sosial-kultural sehingga relasi sosial disosiatif menguat. Namun di tengah era krisis moneter, utang kembali berlaku tanpa tunai. Penebusan utang dilakukan melalui secarik kertas yang bertuliskan, "ikan tiga ekor" hingga "teripang satu kilo." Penebusan pada saat itu merupakan respons atas situasi dilematis, antara melunasi secara tunai ataukah menyerahkan aset produktif di tengah kerentanan ekonomi. Saat ini uang telah mengalami transformasi, mulai dari kenyamanan masyarakat bertransaksi digital hingga terputusnya peredaran uang koin.
-----
Penulis : Calon Pendeta.Dr Jobert Tupan - Jemaat GPM Larat