Tiga Catatan Rakernas PGIW-SAG Di Ambon
Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Wilayah/Sinode Am Gereja-gereja (PGIW-SAG) digelar di kota Ambon, 10-13 Agustus 2023. Iven nasional yang dihadiri para pemimpin gereja se-Indonesia ini selain membicarakan konsolidasi internal organisasi namun juga menggumuli isu-isu eksternal sebagai bagian dari warga bangsa dan negara serta warga dunia. Berikut tiga catatan singkat memaknai momen oikumenis dan kebangsaan tersebut.
Pertama, oikumene in action. Sejak berdiri 20 Mei 1950, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) bertujuan mewujudkan gereja yang esa di Indonesia. Keesaan dimaksud tentu merupakan sebuah proses yang tidak pernah selesai. Dalam proses mengesa itu ada berbagai dinamika, capaian, ketegangan bahkan konflik di antara gereja. Namun hal itu jangan sampai menghempas panggilan gereja yang utama yakni memperkuat koinonia (persekutuan) gereja-gereja, selain diakonia dan marturia serta oikodomia. Panggilan tersebut merupakan amanat agung yang mesti dilakukan secara konsisten dan total. Implementasi panggilan tersebut tidak sebatas kata-kata sistematis sebagaimana antara lain nampak pada Dokumen Keesaan Gereja (DKG) PGI melainkan mesti diwujudkan dalam tindakan (action) sehari-hari hidup menggereja pada aras lokal, nasional maupun global. Gereja-gereja tidak hanya sibuk menata ritual dan seremonial melainkan terlibat aktif dalam menggumuli dan menjawab berbagai realitas sosial bergereja dan bermasyarakat. Pokok Pokok Tugas Bersama (PPTB) 2019–2024 menekankan tiga pokok panggilan bersama gereja-gereja di Indonesia, yakni (1) panggilan keesaan gereja, (2) panggilan pemberitaan Injil, dan (3) panggilan sosial-ekologis gereja. Ketiga pokok panggilan ini mengacu pada pemahaman kontekstual kegerejaan dan sosial-ekologis di Indonesia yang ditandai dengan tiga krisis, yakni krisis kebangsaan, krisis ekologi, dan krisis keesaan gereja, serta adanya tantangan budaya digital. Tugas ini mesti dibumikan secara presisi dan prima sembari tetap mengandalkan tuntunan Allah Trinitas.
Kedua, gereja dan politik. Rakernas PGIW-SAG dilaksanakan di bulan Agustus (bulan kemerdekaan) dan menjelang tahun politik 2024. Meminjam frasa Dr Johanes Leimena terkait kewarganegaraan yang bertanggungjawab, maka gereja sebagai bagian dari elemen bangsa dan negara terpanggil untuk berperan aktif dalam pembangunan bangsa, termasuk pembangunan politik. Politik bukanlah wilayah abu-abu dan tabu melainkan medan gumul gereja yang mesti diresponsi secara apik dan bijaksana. Sebagai contoh, Gereja Protestan Maluku (GPM) dalam Ajaran Gerejanya tahun 2016 merumuskan bahwa Gereja sebagai lembaga dapat berpolitik dalam arti umum yaitu ikut serta menyampaikan pemikiran-pemikiran kritis dan konstruktif kepada pemerintah dan lembaga-lembaga negara tentang hal-hal yang menyangkut penegakan hukum, keadilan, kebenaran, hak asasi manusia, perdamaian, dan kesejahteraan seluruh rakyat (Mrk 1:15; Luk.4:18-21). Gereja melaksanakan politik kerajaan Allah yang membela hak-hak orang tertindas. Gereja sebagai lembaga tidak boleh berpolitik praktis yaitu upaya untuk memperoleh kekuasaan politik melalui partai politik ataupun lembaga-lembaga negara (artikel 137). Dogmatika politik gereja dapat menjadi inspirasi dan acuan bagi gereja-gereja untuk berpartisipasi dalam pembangunan politik bangsa. Mengingat “tidak ada penumpang gelap” di Republik ini (meminjam judul buku AA Yewangoe, mantan Ketum PGI) maka peran politik gereja-gereja di Indonesia bukanlah suplemen dan atau lampiran. Bukan politik yang dibangun dalam kompleks minoritas tetapi sebagai warga bangsa (citizen) memiliki hak dan mandat yang setara untuk bersama-sama mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara. Gereja-gereja di Indonesia dipangil dan diutus Tuhan untuk mengusahakan kesejahteraan polish bangsa dan negara tercinta, Indonesia raya. Presuposisi ini penting dalam konstruksi teologi, eklesiologi dan misiologi gereja-gereja Indonesia di bidang politik dan bidang kehidupan lainnya.
Ketiga, menghidupi teologi biru (blue theology). Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Laut bukanlah pemisah namun pemersatu bangsa. Ironisnya, krisis ekologi yang menimpa dunia saat ini juga menimpa laut beserta seluruh kekayaan di dalamnya. Elia Maggang seorang teolog muda dari Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) belum lama ini datang ke Ambon berbagi gagasan dengan para cendekia di Ambon tentang “teologi biru”. Ia baru saja mempertahankan gagasan tersebut pada ujian disertasi di Lincoln Theology Institute Menchester Inggris. Menurutnya gereja-gereja di Indonesia mesti memperhatikan dengan sungguh-sungguh konteks maritim. Sebagai wilayah yang dominan lautnya, maka sudah sepantasnya bangsa ini dibangun dalam visi bahari yang kuat. Realitas membuktikan bahwa kita masih memungungi laut. Ini bukan semata perkara geografis spasial, ini juga perkara politik ekonomi, sosial budaya dan teologis. Dalam salah satu artikelnya yang berjudul “Menampakan Corak Biru Kekristenan Indonesia. Sebuah Perspektif Ekoteologi” (2019) Maggang antara lain menyimpulkan adalah baik bahwa manusia tidak dapat mengendalikan atau mengontrol laut karena memang mereka tidak diciptakan untuk menaklukkan laut. Manusia malah sangat bergantung kepada peran laut bagi kehidupannya. Keberlanjutan laut berarti keberlanjutan kehidupan manusia dan seisi planet biru ini. Tetapi, laut harus berkelanjutan bukan karena manusia membutuhkannya semata-mata, melainkan karena Sang Pencipta menghendaki keberadaannya sebagai salah satu partisipan sama seperti manusia dalam komunitas yang diciptakanNya. Maka, laut bukanlah ancaman dan objek eksploitasi manusia, melainkan mitra dan subjek yang mendukung sistem kehidupan bersama ciptaan Allah. Terdapat relasi timbal-balik antara manusia dan laut, walaupun asimentris, di mana setiap partisipan membuka tangan untuk merangkul, menghargai dan memastikan bahwa mitranya tetap menjadi partisipan sebagaimana dikehendaki sang Pencipta. Ini sungguh amat baik!. Proposal Maggang ini patut disimak bersama dan adalah menarik jika dapat digumuli juga oleh Rakernas PGIW-SAG di Ambon saat ini.
Demikian tiga catatan singkat saya. Selamat ber-Rakernas di kota Ambon Manise. Tuhan memberkati ! (RR).
Oleh: Rudy Rahabeat, Pendeta Gereja Protestan Maluku