PROMOTING MULTI-FAITH COLLABORATION THROUGH EDUCATION



pada Panel II, hadir empat (4) panelis, masing-masing Prof. Dr. M. Amin Abdullah (Sterring Commite BPIP Republik Indonesia), Dr. Katherine Marshall (World Faiths Development Dialogue), Dr. Renee Hattar (Royal Institute From Inter-Faiths Studies, Jordan),

(Lanjutan - 2)

 

Panel II : PROMOTING MULTI-FAITH COLLABORATION THROUGH EDUCATION

 

Masih di hari pertama (10/7), pada Panel II, hadir empat (4) panelis, masing-masing Prof. Dr. M. Amin Abdullah (Sterring Commite BPIP Republik Indonesia), Dr. Katherine Marshall (World Faiths Development Dialogue), Dr. Renee Hattar (Royal Institute From Inter-Faiths Studies, Jordan), dan Didik Darmanto, MPA (Bappenas).

 

Titik berangkat mereka sama, yaitu melihat LKLB tidak sekedar pada bentuk dialog (dialogue) melainkan perjumpan (engagement). Kecurigaan (prejudice) dan kesalahpahaman (missunderstanding) dimengerti bersama sebagai tantangan utama dalam LKLB. Karena itu perlu paradigma pendidikan yang baru.

 

Menurut M. Amin, bahkan UNESCO pun sadar bahwa dunia saat ini terpecah dan terpolarisasi begitu rupa, sehingga kolaborasi melalui pendidikan dapat meningkatkan solidaritas sosial. Apalagi dengan mengedepankan paradigma perjumpaan, maka para guru dan peserta didik bisa berjumpa dan berbicara langsung dengan para pembicara dari agama lain, sehingga terbangun hal saling memahami.


Katherine Marshall mengingatkan bahwa pluralisme menjadi tantangan besar bagi pendidikan di Indonesia. Sebab itu, LKLB, menurutnya bisa menolong membimbing agenda bersama secara global, setidaknya ada tiga elemen yang terlibat dalam pendidikan dengan paradigma baru, yaitu pimpinan umat, para praktisi dan ekspert di bidang pendidikan serta lembaga pendidikan itu sendiri, termasuk di dalamnya pendidikan teologi. Dengan paradigma baru itu, maka pendidikan menjadi alat yang kuat untuk membangun budaya damai.

 

Dengan paradigma pendidikan baru itu (engagement, red.) maka sebenarnya LKLB telah menjadi salah satu model pendidikan kemasyarakatan (citizenship education, education communities). Model ini, menurut Renee Hattar, sangat esensial dalam masyarakat multi-faiths, dan sangat fundamental untuk membangun budaya damai dan anti-kekerasan. Ada korelasi yang terjadi juga pada level etika sosial atau etika kemasyarakatan (citizenship ethics), dan membantu pembentukan nilai baru dalam masyarakat inklusif. Karena pendidikan kemasyarakatan itu bertumpu pada terbangunnya perilaku yang baik. Hal yang sama menjadi penekanan Didik Darmanto, MPA, terutama tentang praktek pembelajaran yang membentuk sikap tanggungjawab bersama.

 

Jika sekolah dijadikan sebagai pangkalannya, maka kolaborasi antara masyarakat, keluarga, melalui peran orang tua (parenting) dan lembaga agama harus dibangun secara mantap, supaya LKLB bisa berhasil mencapai tujuannya yakni pembentukan kompetensi personal, kompetensi komparatif dan kompetensi kolaboratif.

 

(bersambung ke Lanjutan - 3)