PERANAN DIALOG DAN KOLABORASI LINTAS BUDAYA DAN AGAMA DALAM KONTEKS MASYARAKAT GLOBAL



Peserta ICCRL dari GPM, Pdt. E.T. Maspaitella, Dr. S. Singerin (YPPK Dr. J.B. Sitanala), S. Patty, M.Pd (SMA Kristen Rehoboth, Ambon)

Hari pertama (10/7) pelaksanaan International Conference on Cross-Cultural Religious Literacy, atau Konferensi Internasional Literasi Keragaman Lintas Budaya (LKLB) yang diselenggarakan di Shangri-La Hotel Jakarta tidak tanggung-tanggung menghadirkan kurang lebih 20 narasumber yang berbagi berbagai perspektif dan pengalaman mengenai pentingnya LKLB atau CCR tersebut.


Dari empat sesi Panel, terdapat beberapa trend pemikiran dan pengalaman yang dibagikan dengan konsern yang sama yaitu LKLB harus menjadi agenda global, sebab tujuan pokoknya adalah membangun peradaban damai di dunia melalui pendidikan lintas budaya dan agama, serta berbagi pengalaman positif (best practice) terutama melalui lembaga pendidikan formal.

 

Panel I: The Roles of Cross-Cultural Interreligious Dialogua and Multi-faith Collaboration in Global Citizenship

 

Dalam sesi Panel I, lima (5) pembicara dengan kapasitas internasional dan sudah malang melintang di event lintas agama internasional sama-sama di satu panggung panel untuk menyampaikan gagasan dan pengalaman mereka pada sesi Panel 1: The Roles of Cross-Cultural Interreligious Dialogue and Multi-Faith Collaboration in Global Citizenship.



Mereka masing-masing, Dr. Alexander Rieger, Prof. Dr. Alwi Shihab, Dr. W. Cole Durham, Jr, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, dan Dr. David Saperstein. Perspektif yang kaya dan pengalaman yang mumpuni membuat panel diskusi ini menjadi semacam kuliah teologi agama-agama dalam praksis yang menarik. Tidak segan-segan akar-akar keagamaan agama-agama Abrahaimik (Yahudi, Kristen, Islam), dan agama-agama lokal atau kepercayaan masyarakat pribumi (=aliran kepercayaan, red),  dielaborasi secara gamblang guna menegaskan bahwa semua agama menjadikan harkat dan martabat manusia (human dignity) sebagai yang utama, dan hidup setara dalam keragaman atau harmoni, perdamaian dalam keragaman merupakan fondasi nilai bersama guna membangun tatanan masyarakat inklusif di dunia.


Dr. David Saperstein, secara lugas menyampaikan bahwa dalam tradisi Yudhaisme, kesetaraan, dalam Alkitab Ibrani (Hebrew Bible) diakui sebagai bagian dari tujuan penciptaan manusia, sebab Allah sebagai pencipta menciptakan manusia laki-laki dan perempuan sebagai satu fakta keragaman, sekaligus basis nilai bahwa semua manusia terbuka bagi sesamanya. Karena tujuan dari itu ialah untuk menjadi yang terbaik (becoming good). Itulah sebabnya semua lembaga agama dan pimpinan umat beragama bertanggungjawab untuk mengadakan kerjasama melalui aksi-aksi yang fundamental yaitu kerjasama dan perjumpaan (engagement) antar agamaTindakan tersebut akan menjadikan perjumpaan itu bertransformasi dari level lokal ke level global. 

Untuk itu, perlu ada keberanian untuk belajar satu sama lain (learn from each other), juga membangun kolaborasi antara agama-agama Barat, agama-agama Timur dan agama-agama asli (indigenous religious), sebagai cara untuk menghilangkan kecurigaan, sehingga interaksi lintas-budaya dan agama itu berlangsung secara efektif. Kata kuncinya adalah kolaborasi demi mewujudkan kemanusiaan sebagai mimpi bersama.


Sementara itu Dr. Alexander Rieger mengapresiasi “kampung moderasi” di Indonesia, karena hal itu membuktikan bahwa masyarakat sipil benar-benar menjadi kekuatan untuk membangun dialog, sebab menurutnya, dialog itu bukan sekedar komunikasi. Ada transformasi potensi atau kapasitas di level masyarakat sipil. Dengan demikian apa yang sering muncul seperti gerakan anti-semitisme, anti-islam, anti-kristen, tidak mengemuka sebab masyarakat sudah memandang jauh lebih penting toleransi.


Prof. Dr. Alwi Shihab, yang juga menjadi penggagas LKLB bersama Institut Leimena, menjadikan pendidikan sebagai fokus perhatian dalam mendorong LKLB. Menurutnya, pendidikan bisa mengembangkan kerangka berpikir kritis, empathy dan solidaritas sebagai fondasi saling menghormati (mutual respect)Pendidikan dinilainya efektif untuk menumbuhkan pemikiran kritis guna membangun tatanan dunia yang saling menerima satu dengan lainnya. Di dunia pendidikan, sudut pandang yang berbeda bisa diterima sebagai kekayaan pengetahuan dan praksis (aksi). Baginya, intoleransi juga menjadi satu tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan, terutama untuk mengantisipasi persepsi negatif terhadap agama lain. Di sini, selain pendidikan, media juga berfungsi efektit guna menghindari persepsi negatif tentang agama lain itu.


Shihab mengakui bahwa LKLB yang digalakan Instutit Leimena sejak 2021 ini bermuara pada terbentuknya tiga kompetensi yaitu kompetensi personal, dimana melalui pendidikan, harus dibangun pemikiran yang terbuka, inklusif, empathy kepada sesama yang berbeda; kompetensi komparatif, yang menjurus pada usaha untuk memahami perbedan, membentuk perilaku dan kapasitas untuk saling belajar dari perbedaan, sekaligus menemukan dasar bersama; kompetensi kolaboratif dengan melihat pada dasar bersama untuk membangun kebaikan umum. Membangun perdamaian dan persaudaraan dari titik-titik kesamaan pada semua agama. Di situlah sebenarnya harga diri kemanusiaan menjadi fokus utamanya.


Masih mengenai Pendidikan, Dr. W. Cole Durham, Jr, berpendapat bahwa pendidikan penting untuk membentuk pengertian untuk memahami orang lain. Menurutnya, guru mempunyai kapasitas yang besar untuk membuat LKLB mencapai level tertinggi karena berkontribusi bagi dialog dan perjumpaan praksis berbasis komunitas. Ia menawarkan untuk Konferensi ini harus bisa mencari isu pokok sebagai rekomendasi bersama supaya bisa dikerjakan terus ke depan, khususnya melalui dunia pendidikan, atau peran para guru. Bagi Cole, dalam tujuan dari aksentuasi pendidikan itu agar kita bisa mengadirkan harmoni dalam masyarakat yang inklusif.


Sudut pandang ketiga, yang menjadi menarik justru datang dari Dr. Abdul Mu’ti. Dari dasar-dasar Teologi Islam, Mu’ti mengatakan bahwa ada tiga titik tumpuan teologi yang bisa dijadikan wawasan dasar LKLB, yaitu pertama, percaya kepada kemanusiaan, sebab setiap manusia itu adalah sama ciptaan Allah, kedua, percaya kepada keragaman sekaligus menerimanya sebagai kehendak Tuhan (the will of God), dan ketiga, mengembangkan pluralisme positif (positive pluralism) yang meliputi pentingna pengakuan (acknowledge), penghargaan (respect), penerimaan (acceptence), penyesuaian (acomodation), dan kejujuran (sincerity).


Satu gagasan baru yang ditawarkannya, dan menurutnya jauh melebihi perjumpaan lintas-budaya dan agama adalah persaudaraan inklusif (inclusive neighborhood), dengan menhidupkan apa yang disebutnya 3H, yaitu head to head (perjumpaan langsung), heart to heart (dari hati ke hati, saling memahami dan menerima)dan hand in hand (kerjasama).

 

(bersambung)

 



Berikan Komentar

Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin