HUMAN DIGNITY AS THE COMMON GROUND FOR A COLLABORATIVE MULTI-FAITH SOCIETY



HUMAN DIGNITY AS THE COMMON GROUND FOR A COLLABORATIVE MULTI-FAITH SOCIETY

(Lanjutan - 3) 

 

PANEL III  - HUMAN DIGNITY AS THE COMMON GROUND FOR A COLLABORATIVE MULTI-FAITH SOCIETY

 

Panel ketiga di hari pertama menyajikan topik yang bisa disebut menohok sensetifitas teologi dan praksis beragama di dunia, yaitu aspek harga diri manusia (human dignity). Para panelis bersepakat bahwa, harga diri manusia itu jauh lebih tinggi dari sekedar Hak Asasi Manusia (HAM). Para panelis pada panel ketiga ini masing-masing Dr. Dhahana Putra, Dr. Brett Scharffs, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, Jamee Nell dan Amb. Achsanul Habib.

Dari perspektif HAM, termasuk dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR), kebebasan beragama dan kesetaraan, bahwa semua manusia setara, sudah menjadi deklarasi yang sebenarnya harus dilanjutkan dengan usaha serius untuk bukan hanya melindungi HAM melainkan menjaga human dignity. 


Program pengarusutamaan HAM bisa dikembangkan sebagai strategi yang baik untuk menginspirasi kolaborasi dalam masyarakat majemuk. Sebab apapun yang terjadi indeks HAM yang meliputi Hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial dan budaya harus bisa terpenuhi. Komponen-komponen yang penting diperhatikan dalam kaitan dengan indeks HAM itu meliputi Hak Sipil dan Politik dengan variabelnya yaitu Hak atas bantuan hukum, Hak atas informasi, Hak turut serta dalam pemerintahan, Hak atas keberagaman dan pluralisme, dan Hak atas kependudukan. Sedangkan variabel pada index Hak ekonomi, sosial dan budaya yakni Hak atas kesehatan, Hak atas pendidikan, Hak atas pekerjaan, Hak atas lingkungan yang baik dan sehat, Hak atas perumahan yang layak dan Hak Perempuan dan Anak.


Jika hal-hal itu terpenuhi maka melalui LKLB dapat meningkatkan human dignity. Ini yang dimaksudkan Dr. Siti Rohaini, bahwa dengan demikian HAM menjadi high moral core. Jadi HAM harus didahulukan, melebihi kepentingan agama. Sejalan dengan itu Jamee Nell mengakui semua itu harus diupayakan karena kita datang dari latar belakang yang berbeda, dan banyak orang yang dignity-nya belum terjamin. Sebab itu melalui LKLB kita harus memberi suara kepada mereka yang terbisukan. Bagi Achsanul Habib, dengan demikian kita tidak sekedar memperjuangkan humanity melainkan human wellbeing. 

 

Pada Panel keempat, topik yang disuguhi yaitu Cross-Cultural Religious Literacy: An Indonesian Experience, menghadirkan para pembicara dari Indonesia, terutama para guru yang sudah mengembangkan best practice di sekolah-sekolah mereka. Direktur Eksekutif Institut Leimena, Mathius Ho, sebagai salah satu narasumber pada Panel keempat ini meyakinkan audience tentang keberhasilan LKLB yang sudah dilaksanakan sejak Oktober 2021 - Mei 2024 yang lalu. Terdapat lebih dari 500 alumni pada 37 Provinsi, dan 34 orang hadir langsung dalam Konferensi ini, serta 4 orang turut berbagi pengalaman pada sesi panel keempat itu.


Para guru ini berbagi tentang efek dari LKLB yang mereka ikuti dan bentuk-bentuk implementasi yang telah dikembangkan secara bersama dan lintas-agama, termasuk keberhasilan membentuk pemahaman inklusif di kalangan siswa yang semula masih ada yang berpikiran eksklusif. 


Sedikit untuk berbagi pula dari pengalaman pelaksanaan LKLB di Maluku, melalui Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) dan YPPK Dr. J.B. Sitanala pada Mei 2024, bentuk-bentuk kompetensi kolaboratif yang menjadi praktik di GPM sesuai dengan konteks perdamaian dan persaudaraan di Maluku turut mengilhami upaya sekolah-sekolah milik GPM baik pendidikan dasar (SD, SMP, SMA/K) dan pendidikan tinggi (Universitas Kristen Indonesia Maluku) dalam penerapannya.


Tanpa sadar beberapa bentuk kegiatan yang dilakukan di GPM merupakan model dan bentuk implementasi LKLB terutama kompetensi kolaboratif. Bentuk-bentuk itu dikembangkan dari paradigma Hidup Bersama (Living Together), meliputi (a) Pendidikan berbasis nilai kehidupan (living values eduction), pendidikan perdamaian (peace eduction), membangun komunitas eksemplari (exemplary community), dan tinggal bersama (living together, live in).


Kini melalui YPPK Dr. J.B. Sitanala, telah disusun kurikulum, silabi dan model integrasi ke dalam Mata Pelajaran, serta upaya membangun Pela Sekolah (sekolah bersaudara), antara SD, SMP, SMA Kristen Rehoboth dengan persekolaah Al-Hilaal Ambon.



Berikan Komentar

Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin